Merajut Kehidupan

Merintis bisnis, adalah hal yang sangat membutuhkan semangat dan dukungan yang kuat. Tanpa itu semua rasanya begitu sulit. Seorang yang ku kagumi pernah bercerita tentang perjalanan bisnis beliau yang berkelok. Beliau merintis bisnis dari nol.
Bermula dari keluarga kasta bawah, yang menjadikan beliau sebagai pribadi tangguh yang tak kan terkalahkan oleh besarnya gelombang bisnis yang menghadang liku-liku perjalanannya. Dia adalah anak kedua dari 8 bersaudara
, adik perempuannya meninggal dunia saat masih duduk di sekolah dasar, jadi tinggal 7 bersaudara. “Banyak anak, banyak rezeki” itulah prinsip para orang tua pada saat itu. Namun hal itu membuat anak-anak mereka tak terurus, tidak sedikit dari anak mereka yang tidak mendapatkan pendidikan dan asuhan yang baik layaknya anak-anak jaman sekarang. Anak-anak jaman dahulu, jika ingin makan ya harus cari, tidak bergantung dengan orang tua walau umur mereka masih terlalu belia untuk mencari kehidupan di keras nya dunia. Hal itulah yang membuat otak beliau berpikir bagaimana bisa survive dengan keadaan yang seperti itu. Beliau sekolah seadanya dan berusaha menghidupi diri sendiri. Sejak duduk di sekolah dasar beliau sudah mulai belajar bisnis walau hanya dengan melihat. Bermodal dari Ayah nya yang merupakan seorang pekerja di sebuah agen kopi di desa nya. Beliau sering ikut Ayahnya pergi berkeliling desa untuk mencari orang yang ingin menjual kopi, yang kemudian akan disetorkan kepada juragan agen kopi tersebut. Dari sanalah beliau mulai belajar bisnis.
Di sekolah beliau terkenal akan kepintarannya di bidang Matematika. Beliau selalu masuk peringkat tiga besar di kelasnya. SD, SMP, beliau lalui dengan susah payah. Kesekolah dengan berjalan kaki sejauh 5 km. Dengan semangat tinggi akhirnya beliau menamatkan SMP. Saat ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi beliau mendapat kendala yang sangat sulit di lalui untuk anak seumur beliau. Orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah nya, orang tuanya memberikan pilihan, dia lanjut ke jenjang sekolah menengah atas tapi adiknya harus berhenti, atau sebaliknya. Mulanya beliau ikhlas untuk mengalah demi adiknya, namu adiknya tidak mau dan memilih untuk berhenti sekolah. Akhirnya beliau bisa melanjutkan sekolah pendidikan guru (SPG). Untuk itu beliau harus tinggal jauh dari orang tua karena tempat sekolahnya yang jauh dari kediaman beliau yang berada di pedalaman kota Palembang. Beliau tinggal di sebuah kost-kostan yang sangat sederhana dan bersama temannhya agar mendapat keringanan biaya. Tak jarang beliau mengosongkan perut menunggu kiriman yang tak kunjung tiba. “Ini tak bisa di biarkan”, pikir beliau sambil memutar otak apa yangharus di lakukan untuk situasi itu. Akhirnya beliau mencari kerjaan untuk dapat menyambung hidup dan sekolahnya walau tanpa biaya dari orang tua.
Dengan penuh lika-liku beliau menamatkan SPG dan pulang ke kampong ke rumah orang tuanya. Setiba di rumah beliau di kejutkan dengan penampilan adik-adiknya yang semakin tak terurus. Sehingga beliau semakin giat berusaha. Sebagai pemula beliau menjadi petani kopi, dengan modal kebun kopi yang hanya seluas 100 m x 100 m. Sambil menjalankan kebun kopi warisan orang tuanya itu beliau menikahi seorang wanita dari kampong tetangga. Dan dikaruniai 3 orang anak laki-laki dan satu orang perempuan.
Saat anak beliau masih dua orang, beliau masih sering tinggal di kebun karena belum punya rumah dan belum mempunyai kerjaan yang tetap. Sampai suatu ketika ada lowongan kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Beliau pun ikut tes untuk itu dan beruntung beliau mampu lulus untuk pekerjaan itu. Beliau pun membawa anak istri kembali ke kampong. Dan di bantu mertua membangun rumah sederhana di samping rumah mertuanya.
Sejak saat itu beliau mulai berbisnis, beliau mengikuti jejak Ayahnya, mengumpulkan kopi dengan berjalan kaki dari kampong ke kampong dengan tetap menjalankan kewajiban beliau sebagai tenaga pengajar (PNS) di sebuah sekolah. Beliau merangkak dari bawah, sampai beberapa tahun melalui pekerjaan tersebut. Sampai modal tekumpul beliau membuka gudang sendiri khusus untuk membeli kopi-kopi di kampong beliau yang kemudian di setor ke agen kopi yang lebih besar. Saat itu beliau mempunyai penghasilan hanya sekitar Rp100.000/bulan. Gaji PNS saat itu sebesar Rp60.000/bulan dan Rp40.000 nya lagi dari keuntungan beliau dalam jual beli kopi.
“biar sedikit, asal kontinyu” itulah prinsip beliau dalam berbisnis. Tak pernah ada kata tutup selama beliau berbisnis. Bertahun-tahun beliau lalui bisnis di bawah ketiak orang lain. Kendati demikian beliau mampu membeli sebuah mobil butut untuk membantu usahanya berkeliling kampong mencari orang yang ingin menjual kopi. Sampai pada saat Indonesia di bawah pimpinan Bapak Soeharto, yang melejitkan harga kopi tanah air (saat itu mencapai Rp17.000/Kg) yang sebelumnya hanya beberapa ribu saja. Saat itulah beliau jadikan kesempatan untuk naik ke level yang lebih tinggi. Beliau sudah banyak di kenal di kampong-kampung yang beliau datangi. Tak jarang beliau rebutan pelanggan dengan para tokeh (tokeh: orang yang menjadi kolektor kopi) yang juga berkeliling dari kampong ke kampong, namun hal itu tak menyurutkan semangat beliau, dan terus maju. Dari omset saat itu, beliau mampu membeli sebuah mobil kijang super keluaran Toyota, saat itu mobil tersebut cukup bergengsi. Namun tak lama beliau menggunakan mobil itu, karena ada sesuatu hal yang mendesak akhirnya mobil tersebut terjual dan beliau tukar dengan mobil yang lebih butut namun sangat membantu usaha beliau.
Beliau sangat terbuka pada anak-anaknya, sehingga tak heran keempat anak beliau semua bercita-cita menjadi pembisnis seperti beliau. Kala beliau duduk bersama anak-anak beliau, beliau selalu menceritakan keuntungan yang beliau capai untuk setiap pekannya. Walau pun rugi beliau tetap dengan senyum menceritakannya. Dan selalu mensyukuri apa yang beliau dapat. Pernah suatu ketika, uang Rp25juta hilang tak bersisa di bawa kabur bos beliau yang bangkrut. Tapi beliau tanpak biasa dan malah memuji dan berterima kasih pada bosnya yang telah melarikan uang beliau sehingga beliau harus memulai dengan modal yang tersisa.
“Ah tidak apa-apa, toh sudah banyak juga keuntungan yang kita dapat dari dia (bos beliau), kasihan juga dia yang terlilit hutang. Semoga kedepannya kita dapat lebih baik lagi” Itu adalah kata-kata yang beliau ucapkan kepada anak perempuannya kala itu.
Beliau selalu mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana menghargai uang dan bagaimana mencari uang. Walaupun dulu saat usaha beliau sudah cukup maju dan sudah di anggap orang yang berada di kampungnya, tak lantas beliau memberikan fasilitas yang lengkap kepada anak-anaknya. Kalau rata-rata anak-anak yang lain diberi uang Rp2000/ hari untuk uang jajan di sekolah, anak-anak beliau hanya di beri Rp1000/hari. Banyak teman-teman anak beliau yang tidak percaya kalau hanya diberi uang jajan segitu, tapi itulah adanya. Bukan karena beliau pelit, tapi beliau ingin mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana menghargai uang. Anak bungsu sekaligus anak permpuan satu-satunya tak lantas di manjakan seperti anak-anak yang lainnya. Sejak duduk di Sekolah Dasar anak bungsu nya itu telah beliau latih untuk berusaha. Begitupun dengan ketiga anak laki-laki nya, salau beliau latih dengan mengajak mereka ikut serta menangani bisnis walau hanya sekedar menibang kopi yang akan dibeli sampai membayar uang untuk setiap pembelian kopi. Padahal saat itu anak beliau masih duduk di bangku SD dan SMP. Beliau tak segan-segan atau merasa takut untuk mengajak anak-anaknya ikut serta dalam bisnis.
Jatuh bangun sangat sering ia lalui, namun tetap pada prinsip “biar sedikit, asal kontinyu”. Sampai detik-detik menghembusakan nafas terakhir pun beliau tetap memikirkan bisnis yang beliau tangani. Sayang beliau memiliki kesempatan yang singkat untuk terus berbisnis. Sampai pada akhir tahun 2008 lalu, sebelum beliau menghembuskan nafas terakhir karena kecelakaan, beliau tetap memiliki semangat yang sangat besar.
Note: Omset terakhir yang beliau capai, sekitar 2-4 jt rupiah per pekan. Dari omset awal bisnis yang hanya Rp40.000.
Dan kini adalah masa para anak beliau yang telah terdidik untuk berbisnis, melanjutkan mimpi beliau. Anak-anak beliau bercita-cita bisa berbisnis di bidang ‘property’ atau ‘real estate’ dan bisa membangun gedung-gedung megah layaknya di Manhattan NY.
“Impian yang besar, dan mulai lakukan apa yang bisa dilakukan mulai sekarang”

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

.

.

.

.

.