Mentari Pagi

Merasakan hangatnya Mentari pagi di padang Surya Kencana.
Sungguh indah, dingin yang menggigit tak begitu terasa karena kehangatan yang dipersembahkan oleh sang surya untuk kami sahabat alam.

Salah satu keajaiban itu

Dapat melihat Kuasa Allah dari ketinggian Gn. Gede Pangrango adalah satu hal yang akan selalu ada dalam memori otak ku.

At Gede Mountain

Senangnya saat bisa mencapai puncak gunung yang ku daki.
Berbagai keajaiban yang begitu indah hingga tak mampu ku utarakan dengan kata-kata banyak ku temukan di puncak gunung.
Semangaaatttttt.. . .

Hati Dua Sahabat

Hati ku tak jelas adanya, saat ku mendengar ayah seorang sahabat karibku telah menghadap Sang Pencipta. Tak kuasa ku menahan air mata yang sudah mengantri sedari dulu yang tak ku izinkan untuk mengalir. Ingatanku seratus delapan puluh derajat berputar kembali kemasa tiga tahun silam. Saat dimana aku melihat pahlawan ku, idolaku setelah Rasulullah Sollallahualaihiwassalam, terbujur kaku dihadapan ku.
“Padahal begitu banyak impian yang ingin ku wujudkan untuk beliau, Put!” kata-kata yang sangat dalam menusuk relung hati ku. Bergetar seluruh tubuh ku ketika ku mendengar Annisa mengatakan itu yang diiringi isakan tangis yang begitu pilu. “Betapa aku juga ingin mewujudkan impian itu sahabat ku” lirih ku dalam hati.
“Sabar ya, Nis!” hanya itu kata-kata yang bisa terucap dari mulut ku. Aku tahu seharusnya aku memberikan semangat kepada Annisa yang sedang berduka, tapi tak bisa aku menutupi kesedihan ku hingga terderai pula air mata ku saat ku dengar isak tangis Annisa. Aku bisa merasakan apa yang dirasakan sahabat ku ini. Seolah semua kesedihan yang telah ku kubur dalam-dalam selama ini kembali terangkat ke permukaan. Rasa duka mendalam menyelimuti hati dua insan pagi ini, atas berpulangnya ayahanda tercinta ke Rahmatullah.
“Sabar ya Nis, sekarang kita hanya bisa berdo’a kepada Allah, semoga beliau diampuni segala dosa nya, diterima segala amalannya, dilapangkan kuburnya, dan di bukakan pintu-pintu jannah kelak di hari akhir. Ayo kita sama-sama berusaha untuk mewujudkan impian-impian yang sudah kita rancang untuk beliau yang belum sempat kita capai. Kita jadikan beliau bangga pada anaknya di alam sana.” Akhirnya bisa juga aku mengeluarkan kata-kata yang (semoga) bisa membangkitkan semangat sahabat ku ini setelah menarik nafas dalam-dalam dan menguatkan hati yang sebenarnya juga merasakan kesedihan yang sama. Kami pun terseduh sedan dalam diam masing-masing. Entah apa yang ada dalam pikiran kami saat ini. Setelah dalam diam yang cukup lama, aku pun kembali menguatkan Annisa yang masih sedan akan kesedihannya. Walau aku sendiri tak sekuat kata-kata yang keluar dari lisanku.
“Pokoknya yang sabar ya Nis, apapun yang terjadi yakinlah itu yang terbaik yang Allah kehendaki untuk kita!”
“Menangislah selagi kamu ingin menangis Nis, namun serahkan semua pada kuasa Allah. Mulai besok dan seterusnya kembalilah bersemangat menjalani kehidupan yang entah kapan Allah menghendaki ini. Kamu pasti bisa Nis!”
“Maaf ya Nis, aku tidak bisa pulang, aku akan selalu mendo’akan Papa dari kejauhan dan Insyaallah do’a kita di ijabah Allah Yang Maha Rahman” Kata-kata itu mengalir begitu saja dibarengi air mata yang tak henti mengalir sejak awal.
“Iya Put, Terimakasih ya” terdengar lirih di seberang sana.
“Oke, Sudah dulu ya Nis, sekali lagi kamu sabar ya”
“Assalamu’alaikum” ku tutup telpon ku pada Annisa. Tak tertahankan lagi, tangis ku pun kian menjadi. Aku tertunduk dalam istigfar kepada Allah. Pipi ku basah dengan air mata, bibir ku kelu karena tak sanggup untuk berucap. Hati sajalah yang merintih pada kuasa Allah.
“Aku pun akan segera menyusul ayah dan papa sahabatku atas kehendak-Mu Ya Allah. Walau tak ku ketahui kapan dan dimana Engkau menghendakinya. Ampuni aku Ya Allah yang selalu menangis dan teringat pada ayah kala ku ketahui ada umat-Mu yang Engkau panggil menghadap-Mu.”
“Aku sadar, yang paling dekat dengan ku adalah ajalku. Maka dari itu aku memohon hanya pada Mu atas jiwa dan raga ku agar selalu dalam ridho Mu”
“Ya Rahman, dekaplah ayah dan papa sahabatku dalam pelukan Mu. Terimalah segala amalannya, ampuni khilaf dan salah yang pernah mereka kerjakan dulu, jadikanlah kubur sebagai taman syurga untuk mereka, dan bukakanlah pintu-pintu jannah Mu Ya Allah”
Do’a demi do’a ku lantunkan pada Sang Khalik dalam derai air mata yang tetap saja tak mampu ku hentikan. Hati ku kembali bergemuruh hebat kala aku teringat janji ku pada ayah yang belum sempat ku penuhi.
“Ayah, nanti aku mau membiayai ayah dan ibu pergi haji” kata ku manja pada ayah kala itu.
“Iya, ayah tunggu ya kabar baiknya. Nanti kita berangkat bersama-sama satu keluarga sama kakak-kakak juga” jawab ayah dengan senyum khasnya yang selalu ada dalam benakku.
Air mata ku semakin deras mengalir mengingat itu semua. Ya Allah, tak kuat rasanya jika aku selalu teringat semua kenangan itu. Aku tak sekuat apa yang ku ucapkan pada Annisa, aku tak setegar langkah ku yang ku pijakkan setiap hari ku. Ya Ilahi Rabbi, betapa lemahnya aku yang selalu mengadu kesedihan demi kesedihan kepada Mu. Rasanya setiap ku bersimpuh terlalu sering curahan kesedihan yang ku adukan kepada Mu. Pinta ku Ya Rabbana agar kekutan Mu senantiasa mendekapku, ketabahan menyelimuti jiwaku, dan keikhlasan selalu menghiasi kalbu ku.
Aku akan berusaha mewujudkan impian-impian yang kurencanakan bersama ayah. Aku akan bersemangat menjalani semua liku kehidupan ini untuk meraih impian dan ridho Mu. Aku akan tegar atas segala uji dari Mu yang sungguh aku tau itu Engkau berikan agar bertambahlah iman ku pada Mu.
Segala Puji bagi Mu ya Allah.

Rabbi, Aku Iri

Rabbi, sungguh rasanya aku sangat hina dihapan Mu
Banyak hal yang aku tahu salah adanya tapi masih saja ku jalani
Rabbi
Aku sudah jelas tahu Engkau menyuruh ku menundukkan pandangan ku
Tapi masih saja sering ku melihat yang sejatinya tak halal bagiku
Aku tahu Engkau melarangku bersentuhan dengan lawan jenis hingga ia halal untukku
Tapi aku tetap berjabat tangan dengannya dengan dalih “Ah nanti dibilang sok alim”
Sungguh itu klise semata yang akan membuat ku semakin malu kepada Mu
Rabbi
Aku jelas tahu engkau melarang ku mendekati zina
Tapi aku menjalani pacaran yang perbuatannya menjerumuskan ku pada yang tak halal kulakukan
Aku tahu Engkau menyuruhku untuk menjauh dari ghibah
Tapi aku terus saja berkomentar ketika ada orang sedang berghibah
Tanpa merasa takut akan kehilangan ridho Mu
Rabbi
Aku pun tahu Engkau menyuruh ku menutup telinga ku dari yang tak ada manfaat untuknya
Tapi aku malah mendengarkan gosip-gosip di televisi yang menjadikan otak ku semakin lemah
Aku tahu Engkau menyerukanku untuk melangkah pada kebaikan
Tapi kaki ini sangat berat untuk melangkah saat ada pengajian-pengajian yang begitu besar manfaatnya
Betapa hati ini telah mengeras melebihi batu
Hingga aku tak tergerak saat temanku mengajak datang pada kebaikan
Rabbi
Sungguh aku iri melihat mereka yang mencintai Mu seutuhnya
Sedangkan aku, ah rasanya baru di mulut saja itu terucap belum untuk jiwa ku
Aku iri melihat mereka yang sangat serius mempelajari agama Mu
Hingga tak pernah aku melihat mereka berbelok arah dari menuju majelis Mu
Sedang aku, terlampau sering merasa berat menggerakkan kaki ini kepada kebaikan
Aku iri dengan mereka yang begitu teguh mempertahankan kesucian hati dan raganya
Sedang aku, jangankan hati yang sungguh sulit terjaga, raga ku saja sering sekali melakukan yang tak Kau ridhoi
Betapa sering aku bersentuhan dengan lawan jenis sedang aku tahu belum ada rambu hijau dari Mu untuk dia halal bagiku
Aku iri pada mereka yang sering bermunajah kepada Mu di sepertiga malam
Sedang aku asyik tidur dengan mimpi yang tak jelas, dan sekalipun terjaga aku malah menghidupkan laptop ku dan asyik bergurau dengan teman maya ku
Rabbi
Aku iri dengan mereka dimana kata-kata dzikir senantiasa menghiasi bibir mereka
Sedang aku jangankan dzikir, istighfar saja sangat jarang ku lafazkan
Aku iri dengan mereka yang selalu menangis ketika shalat dan membaca kitab Mu
Sedang aku, bagaiman bisa aku menangis kalau shalatku saja tak pernah khusyuk dan membuka kitab Mu saja sangat jarang
Aku iri pada mereka yang begitu lembut hatinya hingga saat mendengar seruan Mu maka bergetarlah hatinya
Sedang aku, bagaimana bisa selembut itu kalau seruan adzan dekat rumah ku saja jarang sekali ku hayati
Rabbi
Aku iri pada mereka yang bisa berkata “Aku mencintai mu karena Allah”
Sedang aku, sepertinya nafsu semata yang ku ikuti hingga tak jarang aku terjerat pada janji palsu yang tak ada Engkau didalamnya
Rabbi
Aku sungguh iri dengan mereka yang senantiasa mengindahkan hidayah Mu
Sedang aku, ketika hidayah datang menghampiriku malah ku tepis jauh-jauh
Ketika ada teman ku mengajak pada kebaikan, sejuta alasan tak syar’i ku ungkapkan untuk menolak ajakan itu
Betapa sering aku beralasan ketika temanku mengajakku pergi ke majelis Mu, sedang aku tahu ada hidayah Mu di dalam sana
Sehingga aku tertinggal selangkah menuju ridho Mu
Rabbi
Engkau selalu memberiku nikmat padahal Engkau jelas tahu betapa aku jauh dari Mu
Tak Kau pedulikan seberapa sering aku tak mengindahkan hidayah Mu
Nikmat itu tak pernah berhenti Kau alirkan dalam keseharianku
Rabbi
Sekarang aku hanya bisa menangisi penyesalan demi penyesalan yang terungkap
Aku mohon izinkan aku menjemput kembali hidayah Mu yang pernah ku abaikan dulu
Ya Rabbi
Aku ingin meraih ridho Mu
Aku ingin hidup dalam cahaya Mu
Aku ingin melangkah dengan tuntunan Mu
Aku ingin mendapatkan cinta hakiki Mu
Ya Ghafur
Ampuni aku atas khilaf ku
Tuntun aku kembali ke jalan Mu
Lembutkanlah qolbu ku
Ya Rabbul izzati
Kabulkanlah pinta ku
Amin ya rabbalalamin

Menuju Ridho Ilahi

Kadang sesuatu yang sudah kuyakini baik adanya tak seindah biasanya
Menatap indahnya hari dengan rasa syukur tiada tara
Indahnya keagungan Sang Pencipta membenamkan aku di kesejukan alam semesta
Tak ku pungkiri sejuknya udara pagi menjadikan hari semakin ceria
Ku inginkan jadi mentari
Hingga ku dapat memberikan kecerahan di setiap pelosok bumi
Dimana orang-orang tersenyum akan cahayanya
Senangnya bisa melihat senyum-senyum indah mereka
Lesung pipi menjadikan senyum semakin sempurna
Ku korbankan segala rasa dan cita
Demi kebangkitan dunia menuju ridho Ilahi
(...)
Diberdayakan oleh Blogger.

.

.

.

.

.