Jeritan Hati Sang Pujangga

Aku mulai lelah dengan hati ku

Menunggu dan selalu menunggu

Hilang senyap semangat dalam asa

Ingin ku cabik segala rasa

Tak peduli mata-mata itu sinis memandang

Kepenatan dalam hampa

Kebosanan dalam gundah

Semua seakan layu tak terkira

Kepekaan mulai mereda

Keindahan musna terbawa resah

Hanya kedamaian di jiwa yang bertahta

Mengokohkan bahtera cinta

Walau badai datang mendera

Tak terpaut ia dengan segala masa


Jakarta, 10 July 2011
Di bawah langit-langit kamar kost yang penuh kedamaian

Langit Biru

Hari ini langit begitu indah, biru sekali, awan tanpak ngeblur di atas sana, tidak ada yang menggumpal.

Damai terasa di jiwa ku yang kadang lemah.

Tak lupa ku lempar senyum terindah ku pada langit biru nan cerah itu.

Hari ini kegiatan di kampus ku adalah lari pagi mengelilingi komplek. Tidak seperti kampus pada umumnya memang, kampus ku berbasic semi militer, jadi setiap pagi hari jum’at selalu di isi dengan kegiatan olahraga pagi.

Setelahnya seperti biasa kami pun mendapat sarapan pagi, namun kali ini bukan nasi uduk atau gorengan yang kami dapat, melainkan bubur kacang ijo, yang mungkin bagi sebagian kami ada yang tidak menyukainya.

Ku pandangi orang-orang di sekeliling ku ada beberapa dari mereka yang mengeluh melihat menu sarapan pagi ini.

Kurang asyik memang tidak mendapatkan santapan sesuai keinginan, aku pun mengakuinya karena aku juga kurang menyukainya. Hingga banyak dari mereka yang tidak memakannya atau sekalipun dimakan tidak dihabiskan. Mereka hanya memakan sebagian saja dan mengabaikan sisanya yang masih cukup banyak tanpa ada rasa sayang dan kasihan pada bubur kacang ijo itu.

“Tak sadarkah mereka, banyak orang kelaparan di luar sana.” Rintih ku dalam hati.
Aku sedih melihat itu.

Baru kemarin aku melihat naak-anak jalanan yang tidur di bawah jembatan, perut mereka buncit, tulang mereka tanpak jelas karena hanya sedikit daging yang nempel padanya.

“Betapa bahagianya anak-anak itu jika diberikan bubur kacang ijo gratis seperti yang kami dapat sekarang.” Bayang ku.

Tak bisakah mereka bersyukur hanya dengan menghabiskan makanan yang di berikan kampus.

Sungguh miris hati ku melihatnya.

Ingin rasanya ku tampung semua bubur yang tidak mereka habiskan itu.

Ya Tuhan, andaikan saja perut ku seluas langit biru pagi ini, ingin sekali aku melahap semua makan yang mereka sisihkan untuk mewakili anak-anak jalanan yang ada di bawah jembatan itu dari pada di buang percuma ke tempat sampah.

Ya Tuhan, betapa indahnya hidup di bumi ini jika kami pandai bersyukur. Kadang memang apa yang kami dapat tidak sesuai keinginan, kami pun sering mengeluh karenanya. Andai hari ini bubur kacang ijo itu kami berikan kepada anak-anak yang malang itu, sepertinya ada kebahagiaan tersendiri dalam jiwa ini.

------------------------

“Eh, Put. Pagi-pagi kok melamun” tegur ana, mengagetkan ku.

“Kamu Na” jawab ku tersenyum lembut padanya.

“Ngelamunin apa sih Put, sampai serius begitu?” Tanya Ana.

“Ah tidak ada. Hanya memikirkan apa yang kulihat kemarin dan hari ini. Dan mencoba menggabungkannya menjadi sesuatu yang harmoni.” Jelas ku.

“Apa yang mau digabungkan Put?” Tanyanya lagi.

“Kamu tau tidak jembatan dekat gedung di sebelah selatan sana?”

“Iya tau, memangnya kenapa dengan jembatan itu?”

“Kemarin sewaktu aku tak sengaja lewat dan berhenti sejenak disana. Aku mencoba melihat keadaan di bawah jembatan. Ternyata aku menemukan hal yang sangat menyesakkan hati ku hingga saat ini. Disana ada beberapa anak jalanan yang sedang tertidur pulas dengan pakaian kumal. Perut mereka buncit, mereka kurus sekali. Aku sangat haru melihatnya. Sepertinya mereka jarang makan. Ku lihat ada satu dari mereka yang terjaga, dan memungut makanan yang baru saja di buang orang.” Kata ku menceritakan yang ku lihat kemarin pada Ana.

“Dan hari ini aku melihat teman-teman ada yang tidak menghabiskan makanan mereka. Jika saja mereka melihat apa yang ku lihat kemarin rasanya mereka tidak akan sanggup membuang makanan yang mereka dapatkan itu.” Lanjut ku. tak terasa mata ku mulai basah menceritakan itu semua.

“Terus yang ingin kamu gabungkan antara keduanya apa Put?” Tanya Ana sedikit memaksa ku.

“Aku ingin sekali, jika teman-teman mau, mereka menyumbangkan makanan itu jika memang mereka tidak menginginkannya untuk di bagikan pada anak-anak malang itu.” Kata ku penuh harap.

“Rasanya itu jauh lebih baik dari pada membuannya ke tempat sampah.”
“Putri, kamu membuat hati ku bergetar. Semoga niat tulus mu terwujud ya.” Kata Ana memelukku.

“Amin. Makasih Na.” kata ku melempar senyum manis ku pada Ana dan beranjak menuju lapangan untuk berkumpul apel penutupan.

----------------The End--------------

Note:
“Sobat, marilah kita mulai untuk lebih bersykur dengan apa yang kita dapatkan. Entah sekecil apapun yang Allah berikan ayo kita syukuri semuanya. Kata orang bijak mengatakan ‘Dalam hidup ini kenalilah 10 orang terkaya supaya kita terus terpacu untuk maju & sukses dan kenali 10 orang termiskin agar kita senantiasa bersyukur dengan apa yang kita miliki’. Ayo sobat kita indahkan dan damaikan hidup ini layaknya langit biru pagi ini yang menentramkan hati”

Ayah, Dila mau Kembali !

"Ibu, Aku rindu" itulah kalimat pertama yang ku tulis di buku harian ku hari ini. Tak terasa hampir dua tahun aku tidak pulang ke tanah kelahiran ku. Banyak hal yang tidak memungkinkan aku untuk bisa menginjakkan kaki ke bumi nan permai tempat di mana aku menghirup udara untuk pertama kalinya.

Aku sangat merindukan segala sesuatu yang ada di kampung halaman ku. Gunung yang menjulang terlihat perkasa di belakang rumah ku, di hiasi dengan indahnya hamparan sawah yang kadang menguning dan kadang pula hijau dengan padi yang subur. Jalan berliku yang selalu menanti untuk di lewati, kebun kopi di pekarangan jauh mendaki bukit, dan sungai yang bersih dan sejuk selalu terngiang di benakku yang kian menambah kerinduan ku pada tanah kelahiran ku.

"Aku merindukan mu Ibu, sangat merindukan mu." lirih ku di setiap malam penghantar tidur ku. Bayang wajah mu yang mulai keriput selalu menghiasi pikiran ku. Tak kuasa ku menahan tangis kala ku teringat akan jerih payah mu membesarkan ku dan kakak-kakak ku hingga sekarang tak kenal lelah.

Maafkan anak mu yang hanya bisa menelpon mu kala kerinduan ku dan kerinduan mu membuncah dalam dada. Maafkan anak mu yang belum bisa menemui mu dan bersujud di kaki mu juga belum bisa menghambur peluk di dekapan hangat mu. Maafkan aku Ibu.

Ibu, Kau sungguh hebat, kau sungguh perempuan yang sangat luar biasa di seluruh jagat raya ini.

---------------------

Selalu setiap malam aku merindukan Ibu, tak terlewatkan pula butiran bening selalu menghiasi sudut mata ku. Ibu yang single parents, sungguh dia tegar sekali menghadapi semua kewajibannya menghidupi keluarga tanpa ayah di sampingnya. Sejak kepergian ayah tiga tahun yang lalu, semua ibu lakukan sendiri. Menjadi Ibu saat sore hari, menjadi ayah dikala malam menyambut, mengurus rumah, mencari uang untuk sekolah ku dan kakak ketiga ku, mengurus kebun, mengolah usaha warisan ayah, semua dilakukan Ibu. Ibu memang perkasa. Hanya dalam beberapa hal kecil saja dia di bantu oleh kakak pertama ku, satu-satunya anak yang tinggal bersamanya, sedangkan yang lain harus dipikirkannya sendiri. Ibu harus memikirkan ketiga anak lelakinya yang masih lajang dan belum mempunyai pekerjaan tetap, dan harus memikirkan anak perempuan satu-satunya yang berada jauh seorang diri. Entah sudah berapa banyak air mata yang membasahi pipinya yang selalu di sembunyikannya rapat-rapat.

Kakak kedua ku sudah menamatkan kuliah saat ayah masih ada di sisi ku, dan masih menjadi pikiran Ibu karena masih dalam pencarian pekerjaan yang cocol untuknya. Sedang aku dan kakak ketiga ku masih utuh tanggung jawab Ibu karena kami masih kuliah.

Hingga beberapa bulan sejak kepergian ayah tiga tahun lalu, kakak pertama ku menikahi seorang perempuan desa tetangga yang anggun dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Sejak saat itu aku tidak tahu apakah beban ibu berkurang atau bertambah yang jelas gurat bahagialah yang selalu menghiasi wajah Ibu.

Di rantau aku hidup sebatang kara, jauh dari ibu dan kakak-kakak ku. Ada kerinduan yang sangat besar dalam diri ku pada meraka. Dalam hati ingin sekali memeluk mereka satu persatu, karena aku sangat menyayangi mereka. Mereka begitu hebat dan sangat berarti bagi ku. Karena merekalah aku bisa tegar dan selalu mengukir senyum di setiap hari ku saat aku menghadapi masa sulit dalam hidup, saat di mana aku tidak bisa lagi bermanja dengan pahlawan ku, saat aku tidak bisa bersenda gurau dengan guru ku, saat aku tidak bisa mencurahkan isi hati ku pada pemimpin ku, saat dimana ayah menghembuskan nafas terakhir dalam hidupnya, mereka ada disamping ku untuk menguatkan ku. Mereka selalu menyeka air mata ku saat butiran hangat mulai membasahi pipi mungil ku.

"Aku sungguh merindukan kalian"

"Aku ingin memeluk kalian"

"Aku kesepian disini tanpa kalian"

Sungai kecil selalu mengalir di mata sipit ku saat ku memandangi foto-foto kebersamaan hidup bersama mereka yang ku sayang.

------------

"Ya Allah, izinkan aku memeluk mereka walau hanya dalam mimpi."

"Aku sangat merindukan mereka terlebih ayah yang sama sekali tidak dapat ku pandangi wajah nyatanya"

"Ya Allah, izinkan aku mencium ibu dalam mimpi indah sebagai pengobat kerinduanku padanya yang tak bisa ku gapai dari kejauhan ini"

"Ya Allah, izinkan aku memeluk kakak-kakak ku dalam mimpi bahagia ku bersama mereka, sebagai penawar rasa sayang ku pada mereka yang tak bisa ku utarakan pada mereka kala bertemu, andai aku masih kecil dan lucu, ingin sekali aku menghambur peluk pada ketiga kakak ku Ya Allah"

Itulah harapan yang selalu ku utarakan saat khusyuk bermunajah pada Sang Khalik kala sepertiga malam ku terjaga.

-------------

"La, bangun sudah adzan subuh. Kamu sudah sholat?" kata Nita lembut membangunkanku yang tertidur setelah shalat tahajud tadi.

"emmmm.." rengek ku yang masih menahan kantuk dan mata yang bengkak karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.

"Dila, ayo bangun. Kita sholat subuh berjamah"

Aku langsung bangun dan mengambil air wudhu dan melakukan sholat berjamaah bersama Nita. Usai sholat, tanpaknya Nita heran melihat tampang ku dengan mata sembab.

"Kamu habis nangis La?" tanya Nita.

"Emm,, iya sedikit" jawab ku tersenyum lembut padanya.

"Kenapa, kangen Ibu dan kakak-kakak mu lagi ya?" tebak Nita dengan sangat yakin dengan tebakannya.

"Iya..heheh" jawab ku nyengir.

"Sabar ya La, toh sebentar lagi kita libur panjang dan sekaranglah saatnya kamu pulang kampung, berkumpul dengan keluarga mu, dan melepas rindu pada mereka." kata Nita bijak pada ku.

"Iya Nit, tapi aku juga belum tau bisa pulang atau tidak" kata ku sedikit lesu.

"Kamu akan pulang, percayalah La. Semua kan sudah kamu persiapkan, kamu sudah menabung untuk ongkos pulang, hasil kuliah mu juga oasti membuat Ibu mu bangga pada mu. Jadi tidak ada alasan lagi bagi mu untuk menunda kepulangan mu lagi, La." kata NIta meyakinkan ku.

"Iya Nit, makasih ya" kata ku kembali tersenyum pada sahabat baikku itu.

------------

Tak terasa setelah menghadapi ujian yang cukup membuat otak ku sempat kelelahan, akhirnya liburan pun sudah di depan mata. Keindahan kampung halaman ku pun sudah memenuhi memori otak ku. Kakak-kakak ku sudah menunggu di rumah, mereka sudah berkumpul sejak seminggu yang lalu.

"Ibu, kakak. Dila kangen kalian, tunggu Dila ya" bisik ku girang di dalam kamar kost ku.

Teman-teman ku satu persatu mulai meninggalkan lingkungan kampus untuk sementara dan kebanyakan dari mereka memilih untuk berkumpul dengan keluarga.

"La, kamu jadi pulang besok?" tanya Nita tiba-tiba menghampiriku yang sedang asyik ngepack-ngepack pakaian yang akan ku bawa pulang.

"Iya Nit, ini aku sedang bersiap-siap" Jawab ku.

"Kamu sendiri jadi hari ini?" tanya ku.

"Iya, ini aku sudah mau berangkat. Maaf ya La, kamu aku tinggal sendiri" tampak gurat penyesalan di mata bening Nita karena harus meninggalkan aku sendiri.

"Iya, tidak apa-apa Nit. Tidak akan ada yang berani menculik ku koq" canda ku.

"Ya sudah aku pamit dulu ya La, kamu hati-hati ya" Nita langsung memeluk ku erat.

"Iya iya. kamu hati-hati juga ya" kata ku seperti akan berpisah lama saja pikir ku.

--------------------

"Akhirnya setelah dua tahun di kota orang, aku bisa merasakan kenikmatan pulang kampung juga" pikir ku tersenyum sendiri di dalam bus antar provinsi yang ku naiki.

Suasana sunyi, jam tangan ku menunjukkan jam 2 malam. Hanya sekali-sekali ada suara tangis bayi yang duduk tiga bangku di belakang ku.

Perjalanan dari Jakarta ke Surabaya memakan waktu cukup lama, satu hari satu malam. Aku sangat menikmati perjalanan ku, sepanjang jalan aku tak ingin memejamkan mata ku, tak ingin kehilangan sedikitpun keindahan kota-kota dan desa yang ku lalui. Ku pandangi ibu-ibu paruh baya di sebelah ku, spertinya umurnya tak jauh beda sama Ibu pikir ku. Rasanya aku merasakan ibu ada di samping ku menemani perjalanan ku. Kadan ku pegang tangan ibu-ibu itu saat dia tertidur pulas, terasa nyaman sekali.

"Emm. tak sabar aku ingin memeluk ibu." Senyum ku saat itu.

Mata ku mulai berat tak tahan menahan kantuk, akhirnya aku pun tertidur di bahu ibu paruh baya yang ada di sebelah ku.

-------------

"Ibu, Dila rindu sekali sama ibu." kata ku yang langsung menghambur ke pelukan ibu setelah mencium lembut tangan ibu.

"Iya sayang, Ibu juga rindu sama kamu." kata ibu kembut.

"Tapi kenapa kamu kurusan Nak," kata ibu memegang erat tangan ku.

"Ah itu perasaan ibu saja, Dila masih seperti dulu koq Bu," jawab ku tersenyum pada Ibu.

"Kakak mana Bu?" tanya ku melihat-lihat sekeliling ku.

"Surpriseeee..." teriak kakak-kakak ku dari balik pintu mengagetkan ku.

"Kakak.. Dila pikir tidak rindu sama Dila tidak ada yang menyambut Dila." kata ku cemberut pada kakak-kakak ku.

"Duuh,, Gitu aja sudah ngambek." goda kakak ku yang langsung bergantian ku cium tangannya dan tanpa ku duga mereka memeluk ku satu persatu.

Betapa bahagianya aku saat ini, ku pandangi sekitar rumah ku, tanpak banyak perubahan setelah sekian lama aku tinggalkan.

"Oh iya Bu, aku mau ke makam ayah dulu. Aku mau ngambek sama ayah, masa ayah jarang sekali datang dalam mimpi Dila Bu" rengek ku manja pada Ibu.

"Iya Dila, tapi di temani kakak ya." kata tersenyum melihat tingkah manja ku.

"Iya Bu." jawab ku senang.

Aku sangat merindukan ayah yang sudah berbeda alam dengan ku. Belum sempat aku dan kakak ku tiba di makan ayah, tiba-tiba....

"Gbruuukkk.." terdengar keras dari depan bus yang ku naiki. Seketika bus yang ku tumpangi oleng dan terjungkir terbolak-balik hingga masuk ke dalah sungai tingginya sekitar 10 meter dari jalan.
Sekejap semuanya gelap. Mimpi indah ku berkumpul dengan Ibu dan kakak lenyap seketika.

-------------------

"Ayah, Akhirnya ayah datang dalam mimpi ku." kata ku memeluk ayah erat yang ku temui di taman yang begitu indah yang belum pernah ku temui sebelumnya.

"Dila, ini bukan mimpi Nak." kata ayah lekat memandangi ku yang masih dalam kebingungan dengan kata-kata ayah.

"Maksud ayah?" tanya ku heran.

"Tadi itu Dila, sudah sampai rumah Yah, memeluk ibu juga kakak. Saat mau bertemu ayah di makam......" kata ku terdiam dan tertunduk tidak melanjutkan bicara ku.

"Ayah, Dila masih ingin memeluk Ibu dan Kakak Yah, Dila ingin ini hanya mimpi. Dila sayang ayah, tapi Dila juga sangat sayang Ibu dan Kakak Yah. Dila mau kembali ayah."
kata ku terisak di pelukan ayah.

Banyak kupu-kupu biru berterbanagn di sekitar ku dan ayah, seakan mengatakan kepada ku bahwa aku berada dalam damainya taman syurga.

---------------The End-------------------

Hati Ku Bermasalah

"Hati ku bermasalah" sebuah status yang ku tulis di jejaring sosial di dunia maya beberapa tahun yang lalu.Status yang mengundang banyak tanya bagi setiap yang membacanya. Entah apa yang di pikirkan orang saat membaca kalimat itu. Penyakit hati kah, atau masalah hati dalam tanda petik. Semua hanya orang yang membacanya yang bisa menjawab. Yang penting bagi ku itu adalah masalah hati dalam tanda petik.

"Kenapa dengan hatimu Za,?" tanya Diva sahabat karib ku kala itu, melalui pesan singkat di ponsel ku.

"Entahlah Va, belakangan ini pikiran ku di kacaukan dengan hal yang tidak jelas dan tidak bermanfaat sama sekali" jawab ku.

"Kok gitu?"

"Aku jatuh cinta Va."

"Apa? saa siapa? teman kita kah?" tanya Diva bertubi-tubi.

"Iya, harus bagaimana aku bertindak Va? aku takut kala harus berhadapan dengannya, aku tidak bisa berpaling dari memikirkannya? aku selalu merasakan sesak saat dia berada di sisi orang lain, sedang aku tahu dia bukanlah siapa-siapa bagi ku. Aku bingung dengan diri ku sendiri Va. Rasanya ingin sekali aku menangis terisak, namun air mata ku tak bisa keluar untuk hal-hal yang seperti itu."

"Sabar Za, aku tahu perasaan mu karena aku pernah merasakannya. Tapi yakinlah kalau memang kalian berjodoh pasti tidak akan lari kemana. Perbanyak kegiatan agar bisa mempersempit waktu untuk hal yang tidak perlu, sehingga pikiran tentang dia pun akan ikut berkurang." nasihat Diva.

"Oh iya siapa orang beruntung itu. Yang mampu merebut hati seorang bintang sekolah yang cantik, lagi baik hati dan terkenal tegas mempertahankan prinsip untuk tidak pacaran sebelum menikah. siapa dia Za?" belum sempat aku membalas pesan yang pertama sudah masuk lagi pesan Diva dengan pertanyaan yang membuat ku ragu untuk menjawabnya.

"Eh, jangan salah paham Diva sayang, ini bukan berarti prinsip ku akan goyah" balas ku cepat.

"Iya Azza. aku tahu, tapi siapa orang beruntung itu? :) " tanya Diva lagi.

"Faqih. tapi kamu tolong rahasiakan dari siapapun ya Va, karena cuma kamu yang tahu masalah ini" pinta ku pada sahabat karib ku itu.

"Iya Azza sayang. Tenang, rahasia aman di tangan ku...hehehe" jawab Diva menggoda ku.

--------------

Dua tahun berlalu, hingga ku di kagetkan dengan undangan pernikahan dari Faqih. Yang membuat dunia terasa berhenti seketika.

"Azza, ada undangan nih sayang." kata mama lembut menghentikan langkah ku menuju ruang keluarga.

"Dari siapa Ma?" tanya ku.

"Dari teman kamu mungkin, namanya disini Faqih" jawab mama, menggetarkan hati ku. Membuat lemas seluruh tubuh ku.

"Faqih, apa dia akan menikah? tapi sama siapa?" pikiran ku berkecamuk.

"Sayang kok bengong, kenapa kamu tidak kenal sama Faqih?" tanya mama mengagetkan ku.

"Ah, iya ma. Kenal kok ma. Mana undangannya Ma,?" kata berusaha menyembunyikan kegalauan ku.

"Itu di atas meja" jawab mama.

Segera ku ambil undangan mewah berwarna biru langit yang sunggu membuat ku enggan untuk membukanya. Ku kunci pintu kamar rapat-rapat sebelum membuka undangan itu. Rasanya kamar ku yang berukuran 10x10 ini terasa begitu sempit.

Inisial F&A yang pertama kalli kulihat di sampul depan. "Faqih Rizky Abdullah with Annisa Amelia" itulah nama yang teretera di sana. terduduk lesu aku di lantai kamar ku. Orang yang selalu membuat ku enjadi seperti orang paling bodoh sedunia kini tinggal menunggu detik-detik hari kebahagiaannya. Annisa, mahasiswa yang sangat hebat. Selain kecantikan dan kerendahan hati yang ia miliki dia juga sangat taat beribadah dan menjaga kesucian dirinya. Kerudung yang di tata rapi di kepalanya selalu menghias indah di setiap harinya. Dia yang menjadi dambaan semua kaum adam kini bersanding dengan seorang Faqih yang juga tak jalah soleh dan rendah hati. Faqih yang memiliki wajah lembut dan tanpan membuat semua kaum hawa terpana saat berpapasan dengannya, namun itulah Faqih dia selalu menundukkan pandangan saat bertemu lawan jenis.

Sungguh mereka memamng sangat serasi, lirih ku yang mulai meneteskan butiran bening yang tak jelas alasan kenapa dia mengalir.

"Assalamu'alaikum, Za" terdengar suara Diva di seberang sana.

"Wa'alaikumsalam Va" jawab ku lesu.

"Za, kamu tidak apa-apa? kamu sudah tahu berita tentang Faqih?" tanya Diva.

"Aku baik-baik saja Va. Iya, ini aku baru membaca undangannya." kata ku pelan.

"Aku malah bahagia karena orang yang ku suka akan bahagia bersama orang yang sangat luar biasa seperti Annisa. Kamu tenang saja Va, teman mu ini akan selalu baik-baik saja." lanjut ku.

"Ya sudah kalau begitu. Semangat terus ya Za, Insyaallah nanti Allah berikan yang lebih baik dari Faqih." kata Diva mentup telponnya.

Wajah Faqih memang sering terlintas dalam benak ku. Sulit sekali untuk di hindari, hingga tak jarang aku berharap dia akan menjadi jodoh ku.
Sejak awal perkuliahan aku memang sudah menaruh hati pada Faqih. Karena seringnya kami berkomunikasi di kelas, hal itu membuat ku semakin sulit terlepas dari bayangannya. Faqih pun begitu baik pada ku, kami saling menghormati satu sama lain. Dia sangat jarang menatap mata ku, begitu pun aku. Hanya melihat sekilas lalu menunduk. Namun selalu ada getaran dalam dada ku saat berhapan dengannya.
Pernah saat satu kelompok mengerjakan tugas dari dosen, kami datang pertama ke kampus, sedangkan teman-teman yang lain terlambat. Dia sempat bertanya pada ku mengenai tipe suami yang ku idamkan. Aneh memang seorang Faqih yang sangat menjaga hubungan dengan perempuan, tiba-tiba saja menanyakan hal itu. Ku jawab saja, 'yang mampu menggetarkan hati ku'. Saat ku tanya kenapa dia langsung mengalihkan pembicaraan. Dan meninggalkan ku samapi teman-teman yang lain datang.

"Za, Aku keluar dulu ya. Tidak baik berduaan di dalam ruangan bagi dua orang yang bukan muhrim" Kata Faqih lembut dan langsung bergegas keluar ruangan kelas.

Sejak saat itu kegundahan ku kian bertambah, hingga saat ada seorang teman melamar ku saat tahun pertama lulus kuliah. Aku menolak lamaran itu, karena hati ku masih terpaut seutuhnya pada Faqih.
Hingga hari ini aku mendapat undangan pernikahan darinya aku masih menyimpan rasa untuknya. Menyakitkan memang, namun itulah takdir tak bisa ku hindari, aku harus menghapus bayang Faqih dari hidup ku kini, kemarin, besok dan seterusnya.

-------------

Hari ini adalah hari yang sangat menyiksa batin ku. tak kuasa ku menahan tangis hingga membasahi sajadah ku.

"Ya Allah. aku sadar tidak ada hak untuk ku bersikap seperti ini. namun entah kenapa rasanya sakit sekali kala tahu kalau dia akan menikah. Ya Allah, aku mohon bahagiakan dia selalu, ridhoi pernikahannya," do'a ku dalam sujud sholat malam ku.

"Ya Allah bantu aku belajar lebih ikhlas dengan kejadian yang ku alami selama ini. Dan semoga aku juga bisa sebahagia dia sekarang."

"Amin Ya Rabbal Alamin"

Tetesan embun kembali menetes dari pelupuk mata ku.

Jembatan Di Atas Tol


Pagi ini terasa sangat sejuk, kota metropolitan belum menghadirkan jamuan asap kendaraan untuk dinikmati. Jam dinding di kamar ku menunjukkan pukul 5.30 pagi aku segera bergegas keluar menuju sebuah masjid di dekat ruman ku. Pagi ini aku mempunyai janji dengan sahabat ku untuk lari keliling komplek. Duduk di pelataran masjid sambil mendengarkan music dengan headset memperhatikan beberapa ibu-ibu yang berlalu lalang di depan ku. Tak lupa ku tundukkan kepala ku dan melempar senyum pada mereka.

“Kemana sih Nisa?” pikir ku yang sudah lebih dari sepuluh menit menunggu.

“Assalamu’alaikum, Nis!” sapa ku menelpon Nisa.

“Wa’alaikumsalam. Maaf Put, aku tidak bisa ikut lari. Barusan kaki ku terkilir di kamar mandi” jawab Nisa langsung memberitahu ku.

“Oh ya sudah aku ke sana sekarang!” kata ku

“Tidak usah Put, aku baik-baik saja. Kamu pergi lari sana, nanti kamu tidak bisa melihat matahari kemerahan!” kata Nisa lembut.

“Bener kamu tidak apa-apa?”

“Iya Put. Kamu sendiri tidak apa-apa kan sendiri?” Tanya Nisa

“Iya. Ya sudah aku jalan dulu ya. Cepet sembuh, nanti aku kesana setelah lari”

Beruntung Nisa tidak jadi ikut, pikir ku. Aku langsung melangkahkan kaki dan mengelilingi komplek dengan hati yang berkecamuk. Kemarin sepulang kampus, Fajar menemui ku dan mengatakan bahwa dia akan berhenti kulaih dan pulang ke Surabaya pagi ini. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk lari pagi, bukan tujuan utama ku melihat matahari kemerahan seperti alasan yang ku katakan pada Nisa. Setiap hati ku tidak tenang aku pasti melampiaskannya dengan berlari, rasanya lega setelah lari sekencang yang aku bisa.

Entah sejak kapan aku suka pada Fajar, yang jelas sejak enam bulan yang lalu aku sering berkomunikasi dengannya, yah walau hanya sekedar kirim-kiriman pesan singkat atau chatting di YM. Pernah suatu ketika kami chatting, aku ingat waktu itu Fajar menanyakan soal jodoh. “Put, menurut kamu jodoh itu bagaimana?” Tanya Fajar waktu itu. Saat itu aku menjawab tidak mengerti karena itu rahasia Allah. Sekali lagi dia bertanya apakah aku bisa menebak siapa jodoh ku, yah langsung saja aku menjawab tidak tahu, walau sebenarnya aku sudah mengetik “Aku berharap kamu jadi jodoh aku Fajar!” namun segera ku hapus dan ku urungkan niat ku mengirim pesan itu. Sejak itulah Fajar sering masuk dalam pikiranku. Aku tahu Fajar pun merasakan hal yang sama. Walau kami tidak mengakuinya satu sama lain. Setiap bertemu pun aku dan dia tidak pernah bertatap mata, hanya sekedar melihat lalu menunduk. Sampai kemarin dia mengatakan akan pulang ke kampung halamannya, Surabaya, entah sampai kapan dan tidak memberitahu alasannya.

-------------------

Ku hentikan langkah ku di sebuah jembatan yang selalu ku lewati setiap lari pagi di luar komplek tempat tinggal ku dan merupakan tempat ku menikmati keindahan mentari pagi. Ku lihat jam tangan ku menunjukkan pukul enam, matahari belum menampakkan cahayanya. Yang ada hanya deru laju mobil di jalan tol yang berada di bawah jembatan tempat ku berdiri. Ku pandangi setiap mobil yan berlalu lalang. Jakarta, masih sepagi ini sudah ramai oleh orang-orang super sibuk yang akan menjalani aktivitas mereka masing-masing.heemm.

“Aku ingin hidup lebih nyaman dari kebisingan ini.” Bisik ku.

“Impian ku sangat sederhana, memiliki rumah di dekat pantai agar bisa melihat indahnya sunrise
setiap pagi, dengan halaman depan yang luas dan ada taman bunga nan indah disana, juga di belakang rumah ada kolam renangnya. Heemm,, rasanya aku bisa merasakan ketenangan disana” pikir ku tanpa sadar mengungkapkan impian ku dengan mata tak lepas dari memandangi mobil yang simpang siur melintasi jalan tol di bawah jembatan.

Seketika mata ku terpaku memandangi sebuah mobil, Camry warna hitam yang sungguh itu tak asing bagi ku. Aku yakin begitu banyak orang yang punya mobil itu di Jakarta, namun aku tahu dan sangat mengenal mobil itu. Mata ku terus menatap mobil itu yang semakin menjauh hingga tak terlihat.

“Selamat jalan Fajar. Semoga kamu selalu bahagia di sana” lirih ku.

Tanpa terasa setetes embun bening menetes dari sudut mata ku. Kenapa aku menangis, kenapa dada ku terasa sesak sekali, kenapa jantung ku berdetak tidak seperti biasanya. Semua pertanyaan itu memenuhi otak ku. Aku tertunduk malu karena orang-orang menatap ku heran.

“Ayolah, Put. Memangnya siapa Fajar bagi hidup mu hingga kamu harus begini.” Kata ku menyemangati diri.

Berlari ku sekencang-kencangnya untuk menghilangkan semua sesak dalam dada ku. tanpa peduli dengan orang-orang yang keheranan memandangi ku.

----------------

Tiga tahun berlalu setelah pagi itu, ku jalani hari dengan aktivitas yang ku atur sepadat mungkin agar aku bisa melupakan semua ingatan ku tentang Fajar. Walau tidak sepenuhnya lupa, namun itu cukup membuat ku merasa lega terlepas dari memikirkan Fajar. Tahun lalu aku menyelesaikan kuliah ku dan mendapat gelar sarjana ekonomi.

“Put, bulan depan kamu sudah sarjana akuntansi. Mama mau memberi hadiah, Putri mau hadiah apa?” Tanya mama dari depan pintu kamar ku yang sudah terbuka sedari tadi.

“Eeemm.. Terserah mama sajalah, apapun itu kalau dari mama, Putri pasti suka” jawab ku melempar senyum pada mama.

“Ya sudah kalau begitu, nanti jadi kejutan saja ya.” Kata mama yang langsung meninggalkan kamar ku.

“Fajar, apa kabar mu?” lirih ku. Sejak bertemu sepulang dari kampus sore itu tidak ada kabar sama sekali darinya. Sepeti di telan bumi saja, semua akun di dunia maya pun juga di tutup. Apa yang terjadi sebenarnya, pikir ku.

“Ma, Putri keluar dulu ya!” pamit ku.

“Mau kemana Put?” Tanya mama sedikit heran melihat ku.

“Putri mau lari pagi, Ma!” jawab ku.

“Iya, hati-hati ya Put!” kata mama lembut dengan senyumnya yang sangat manis.

Tiga tahun lebih aku tidak kesini saat tiba di jembatan tempat biasanya aku menikmati pagi, semua masih seperti dulu, pikir ku. Tak terasa sudah tiga tahun lebih pula aku tidak pernah melihat cahaya kemerahan mentari pagi dari sini. Semenjak pagi itu saat aku melihat Fajar meninggalkan Jakarta aku memutuskan untuk tidak pernah datang kesini. Namun entah kenapa pagi ini aku sangat ingin datang kesini.

Ku pandangi sang mentari yang mulai menampakkan cahaya merah khasnya yang menghangatkan jagat raya. Sesekali dia bersembunyi di balik awan putih yang menemaninya pagi ini. Begitu indah hingga dia mampu menghipnotis ku. Ku raih kamera dari saku jaket ku dan mulai asyik mengambil foto dari berbagai sudut.

“Masih seperti dulu.” terdengar suara lembut begitu khas dari belakang ku yang mengagetkanku saat asyik mengambil gambar di sekeliling ku.

Jantung ku bedegup kencang kala ku ingat-ingat pemilik suara khas itu. “Fajar kah?” pikiran ku berkecamuk, benarkah dia, tapi itu tidak mungkin karena aku tahu dia di Surabaya.

“Ternyata di tinggal tiga tahun tetap saja tidak berubah, masih suka mengambil gambar mentari pagi?” Tanya nya.

Ku balik kan badan ku, dan alangkah terkejutnya aku melihat wajah lembut dengan tatapan mata yang teduh tersenyum manis, ada di tepat di hadapan ku.

“Fajar.!” Kata ku sambil menyembunyikan kekagetan ku.

Fajar hanya melambaikan tangan dan tetap tersenyum. Perasaan ku kian tak karuan, bahagia karena orang yang selalu ku nantikan kehadirannya ada di hadapan ku, atau kah kecewa karena dia sudah pergi meninggalkanku tanpa alasan sepatah kata pun yang terucap.

“Fajar, sejak kapan kamu disini?” Tanya ku heran.

“Sejak kamu mulai memandangi cahaya merah mentari tadi” jawab Fajar.

“Sepertinya memori laptop kamu penuh karena foto-foto matahari dan pemandangan ya” lanjutnya dengan senyum simpul menghiasi wajah tanpannya.

Aku hanya terdiam masih tidak percaya dengan keadaan ini. Banyak pertanyaan yang ingin ku Tanya kan pada fajar, kapan dia tiba di Jakarta, kenapa dia ada di sini, apa yang terjadi dengannya sejak tiga tahun lalu, sungguh itu ingin ku tanyakan pada Fajar, namun rasanya bibir ku tak mampu bergerak karena kaget.

“Tidak usah heran begitu. Kemarin aku tiba di Jakarta. Sejak dari Surabaya, tempat yang paling ingin ku kunjungi adalah tempat ini. Tadi pagi-pagi aku sudah jalan kesini, ternyata kamu sudah ada di sini lebih dulu.” Kata Fajar seakan mengerti kebingungan ku.

“Maafkan aku Put, waktu itu aku tidak sempat berpamitan sama kamu. Tapi waktu itu benar-benar keadaan mendesak, perusahaan papa ku hampir bangkrut beliau kena serangan jantung. Ibu menelpon meminta ku untuk kembali ke Surabaya dan menangani perusahaan setidaknya sampai papa sembuh. Aku panic mendengar berita papa serangan jantung dan perusahaan yang hampir bangkrut itu, jadi aku langsung memutuskan untuk kembali ke Surabaya. Syukurlah sekarang semua sudah kembali normal.” Lanjut Fajar setelah diam beberapa saat.

“Aku tidak tahu kenapa aku harus menjelaskan ini semua kepada kamu, tapi rasanya lega kalau sudah menjelaskan semuanya sama kamu.” Katanya menarik nafas dalam.

“Put, kenapa diam saja?” Tanya Fajar heran melihat aku yang terdiam dan tertunduk dari tadi.

“Aku tidak tahu harus ngomong apa Fajar.” Jawab ku menahan tangis.

“Kamu masih marah Put?” Tanya nya lagi.

“Aku tidak ada hak untuk marah sama kamu”

“Lalu kenapa kamu diam saja?”

Sejatinya aku sangat merindukan orang yang ada di hadapan ku sekaran ini. Ingin rasanya aku mengatakan aku sangat rindu sama kamu Fajar, tiga tahun ini aku selalu menantikan mu. Namun itu semua tertahan di tenggorokan ku.

“Oh ya sudah tidak apa-apa. Aku ingin bercerita saja kalau begitu.” Kata Fajar mencairkan suasana.

“Tiga tahun yang lalu, di suatu pagi, saat aku akan kembali ke Surabaya. Ingin sekali aku menemui seseorang yang mampu membuat hati ku bergetar walau hanya mendengar namanya. Berkali-kali aku berniat menelpon namun selalu ada ganjalan dalam hati saat mau menekan tombol call. Bahkan sebuah pesan singkat sudah aku ketik, namun ku urungkan untuk mengirimnya.” Cerita Fajar.

“Kenapa tidak jadi, dan siapa orang itu?” Tanya ku sangat penasaran.

“Aku takut untuk aku menelpon atau mengirim pesan itu, karena aku bukan siapa-siapa untuk dia. Bahkan aku tidak tahu dia memikirkan aku atau tidak, aku tidak tahu dia mengharapkan telpon ku atau tidak.” Jawab Fajar namun tidak menjawab pertanyaan kedua ku.

“Aku tidak tahu mengapa perasaan ku saat itu sungguh tidak enak kala harus meninggalkan Jakarta, yang jelas aku sangat tidak menginginkan untuk jauh dari dia.”

“Saat aku melewati tol Jakarta-Tangerang menuju bandara. Di sebuah jembatan di atas tol, aku melihat seseorang yang sangat ingin ku temui itu. Aku melihat dia dari balik kaca hitam di dalam mobil.”

Jantung ku berdebar kencang saat Fajar menceritakan itu semua, kenapa seperti aku mengenal kejadian dalam cerita tersebut.

“Tatapan lembutnya melihat kearah ku, namun aku tahu dia hanya melihat mobil yang ku naiki dan dia tidak melihat ku karena terhalang kaca hitam mobil. Saat itu aku berdo’a, semoga kelak saat aku kembali ke Jakarta dia belum menikah dan aku akan melamarnya.” Lanjut Fajar yang semakin membuat aku gemetaran.

“Selama di Surabaya sudah beberapa kali papa dan mama meminta ku untuk menikah, namun dengan halus aku menjelaskan bahwa aku akan menikahi satu orang di dunia ini.”

“Aku berharap sekarang dia belum menikah, hingga aku bisa melamarnnya”

“Dia itu siapa Fajar, kamu membuat aku penasaran?” Tanya ku memotong cerita Fajar. Tubuh ku gemetar dan mulai panas dingin. Fajar terdiam sejenak dan melanjutkan bicaranya.

“Put, will you marry me?” Kata Fajar di penghujung ceritanya.
Ku lihat sekilas wajah Fajar yang tersenyum pada ku. langsung ku tundukkan pandangan ku dengan penuh kekagetan ku. belum terjawab rasanya kekagetan ku tadi kini dia sudah mengagetkan lagi dengan melamar ku. senang memang, tak bisa ku pungkiri. Bahagia karena orang yang sering hadir dalam mimpi ku kini ada di hadapan ku dan juga melamar ku.

“Orang itu kamu Put, sejak tiga tahun yang lalu aku memendam rasa suka aku sama kamu. Dan sekarang aku rasa adalah waktu yang tepat untuk aku mengungkapkan semuanya.” Terang Fajar.

“Bagaimana Put, kamu mau kan?” Tanya Fajar sedikit bergetar.
Ku pandangi sejenak wajah teduh Fajar, ada kehangatan tiada tara yang mengukir disana. Ku lempar senyum tipis pada Fajar.

“Aku tidak bisa.” Aku terdiam sejenak,ku lihat Fajar rasanya baru kali ini dia diam tertunduk tanpa kata seperti itu.

“Aku tidak bisa menolak lamaran orang yang sering mengusik hati dan pikiran ku selama ini. Aku tidak mampu menolak lamaran mu itu Fajar.”

----------------The End-------------------

Diberdayakan oleh Blogger.

.

.

.

.

.