Menanti Siang

Ketika malam telah datang
Kesunyian mulai mencekam
Hati kian gundah
Tak tenang bila resah
Menunggu sang mentari menampakkan cahayanya
Begitu lamanya waktu yang harus ku habiskan dengan malam
Bosan
Penat
Semua seakan menghampiri
Tenggorokan serak karenanya
Wahai kelam jangan mengusikku
Wahai siang aku menanti mu
Datanglah untuk hanyasekedar memberi ku cahaya
Menghilangkan segala penat yang ada.

Rencana Allah Menyatukan Dua Insan

“Put, aku akan ke Batam bulan depan.”
“Afwan, ada keperluan apa ke Batam?”
Dua hari berlalu setelah pesan singkat terakhir yang ku terima dari Fajar, dia mengatakan akan ke Batam, tanpa memberi penjelasan tujuannya pergi ke tanah kelahiran ku untuk apa. Dua kali ku kirim pesan yang sama, menanyakan tujuannya ke Batam namun tidak ada jawaban sama sekali.
“Assalamu’alaikum, Afwan Put kemarin aku tidak membalas pesan mu. Sebenarnya aku tidak mau memberitahukan tujuan ku ke Batam sama kamu. Tetapi setelah aku pikirkan lagi, kamu berhak tahu.” Tiba-tiba sebuah pesan yang masih mengambang maksud dan tujuannya, masuk ke ponsel ku.
“Fajar!” heran ku.
Belum sempat aku menanyakan maksud Fajar, ponsel ku sudah berdering untuk kedua kalinya dan itu darinya.
“Afwan Put. Aku ingin mengkhitbah mu. Aku sudah bilang sama semua keluarga di Batam.” Pesan yang sangat singkat namun cukup membuat ku terdiam beberapa saat dan membuat hati ku tak karuan.
“Put, semua keputusan ada di tangan kamu. Ayah dan ibu tidak akan pernah memaksa. Kamu sudah besar dan mengerti baik buruk semua yang akan kamu hadapi. Berpikirlah yang tenang karena ini menyangkut masa depan mu. Perbanyak berdo’a dan minta petunjuk pada Yang Maha Pemberi Petunjuk. Apa pun keputusan yang kamu ambil, Insyaallah ayah dan ibu akan tetap mendukung.” Itulah pesan yang kuterima dari ibu setelah beberapa saat Fajar memberi kabar.
Aku memang pernah dekat dengan Fajar, namun itu dulu jauh sebelum aku hijrah ke Jakarta dan mendalami ilmu agama ku. Itu pun hanya sekadar kirim-kiriman pesan singkat saja. Setelah itu aku tidak tahu kabar tentang Fajar dan tidak pernah berkomunikasi dengannya. Sampai beberapa hari yang lalu dia mengirim pesan dan mengatakan dia akan ke Batam yang tujuannya untuk mengkhitbah ku. Sungguh semua itu membuat ku tidak tenang. Bukan karena aku tidak suka Fajar berniat mengkhitbah ku, namun sekarang aku masih kuliah dan belum berfikir untuk melangsungkan sebuah pernikahan.
“Ya Allah, aku mohon petunjuk mu. Aku sungguh mencintai kekasihmu, namun aku ingin menyelesaikan pencarian ilmu ku untuk menyempurnakan segala ilmu yang kumiliki. Aku ingin tetap menjaga hati ku untuk menggapai ridho-Mu. Sungguh aku lebih mencintai-Mu dari kekasih-Mu. Aku ingin cinta ku pada-Mu dan cintanya pada-Mu meneguhkan hati kami, agar tetap terhimpun dalam cinta hakiki kepada-Mu. Aku mohon kalau memang dia jodoh ku yang telah Engkau tekdirkan, maka mudahkanlah perkara ini. Dan jika dia bukan yang terbaik untuk ku, aku mohon jadikanlah ini sebagai penguat iman ku dan dia pada-Mu. Amiinn ya Allah” dalam sujud ku panjat kan do’a dengan air mata yang tak pernah surut mengalir dari sudut mataku.
Seminggu berlalu, hari-hari ku dipenuhi kebimbangan yang mendalam. Aku tak tahu isi hati ku, gundah, bingung, senang, semua seakan bermain dalam benakku. Aku bingung harus berbuat apa dan berkata apa. Di lain pihak aku memang menaruh hati pada Fajar, namun aku juga ingin menyelesaikan kuliah ku yang masih tersisa dua semester ini. Kalau pun aku terima lamaran Fajar, aku belum mau menikah dalam waktu dekat, itu berarti ada tenggang waktu yang sangat lama antara lamaran dan pernikahan. Dan itu sangat membahayakan untuk iman ku. Aku takut tidak bisa menjaga kesucian hati dan bersihnya pikiran ku. Namun jika aku tidak menerima lamaran itu, tidak enak dengan orangtua ku dan orangtuanya Fajar yang sudah sangat dekat bahkan bisa dikatakan sudah menjodohkan kami secara tidak langsung.
“Oh iya, Nisa!” Aku langsung meraih ponsel dan mencari-cari nomor Nisa.
“Semoga Nisa bisa membantu ku keluar dari semua ini” harap ku.
Tak perlu lama aku menunggu, aku langsung menekan tombol call untuk menghubungi Nisa yang berada di Batam.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikunsalam, Nis!” jawab ku pelan.
“Apa kabar Put, sudah lama kita tidak berkirim kabar?” Tanya Nisa.
“Alhamdulillah Khoir, kamu sendiri bagaimana Nis?”
“Alhamdulillah luar biasa Khoir.” Jawab Nisa semangat.
Tak mau aku berlama basa-basi, langsung ku ceritakan semua dari awal, mulai dari pesan yang ku terima dari Fajar sampai dia mengatakan ingin menghitbah ku. Dan hambatan-hambatan ku untuk mengambil keputusan.
“Aku bingung Nis, Jujur aku memang menaruh hati pada Fajar. Namun belum terpikir oleh ku kalau dia akan mengkhitbah ku secepat ini. Aku masih mau menyelesaikan kuliah ku. Aku takut jika dia datang ke Batam dan langsung melamar ku pada ayah. memang keputusan diserahkan pada ku, tapi aku bingung Nis harus berbuat apa.” Jelas ku panjang lebar pada Nisa yang menjadi pendengar setia sedari tadi.
“Put, jujur aku juga belum terlalu paham untuk hal ini.” Jawab Nisa
“Aku tahu kebimbangan mu, Put. Kamu harus bisa menimbang semua keputusan sebelum mengambil keputusan itu.” Terang Nisa.
“Atau kamu terima saja lamaran Fajar dan menikah setelah kamu lulus kuliah.” Lanjutnya.
“Tapi Nis, kuliah ku masih setahun lagi, itu masih terlalu lama. Aku takut tidak bisa menjaga hati ku. Aku tidak bisa bertahan jika pikiran ku selalu di bayang-bayangi oleh Fajar. Aku takut iman ku tak sekuat yang ku rencanakan Nis. Aku takut ada komunikasi yang tidak perlu terjadi seperti sms atau telpon dengan topic yang tidak syar’i.” Jelas ku mulai terbata.
“Iya Put, aku tahu. Sangat sulit untuk menjaga hati. Tapi aku percaya kamu bisa. Kamu sudah tahu ilmu nya, kalau pun nanti ada acara sms-an itu hanya sekedar menanyakan kabar dan sudah stop tidak usah dilanjutkan. Namun jika kamu merasa takut lalai karenanya, sebaiknya kamu katakan yang tegas pada Fajar, kalau kamu tidak mau ada jedah terlalu lama dan bilang tunggu sampai kamu menamatkan kuliah mu dulu.”
“Oh iya Put, kamu sudah shalat istikharah?” Tanya Nisa tiba-tiba.
“Iya sudah Nis. Malah sudah berkali-kali, tapi tak kunjung kutemukan jawabannya. Aku masih diselimuti keraguan-keraguan yang sulit sekali ku hindari.” jawab ku.
“Putri, perlu kamu ketahui. Istikharah tidak selalu Allah jawab memalui mimpi. Tapi bisa juga dijawab dengan keyakinan dalam hati kita. Kalu kamu yakin untuk menerima Fajar, berarti itu lah jawabannya. Namun jika kamu masih ragu karenanya itupun merupakan jawabannya.”
“Ingat Put, jodoh itu sudah Allah atur sedemikian rupa indahnya. Kalau memang jodoh mu adalah Fajar, apapun tidak bisa mengahalanginya, namun jika dia bukan jodoh mu, Allah pasti sudah menyiapkan yang terbaik untuk mu di kemudian hari. Kamu pertimbangkan baik buruknya keputusan yang akan kamu ambil. Aku yakin kau pasti bisa memutuskan yang terbaik untuk mu dan iman mu.” Terang Nisa yang sangat menguatkan hati ku.
“Iya Nis, akan aku pikirkan lagi. Jazakillah Nis,!”
“Sama-sama Put. Tetap semangat, serahkan semua pada Allah dan tetap jaga kesucian hati mu. Sudah dulu ya. Assalamu’alaikum.” Tutup Nisa.
----------------------
“Assalamu’alaikum. Afwan Fajar. Dengan segala kekurangan ku, aku berharap kamu menunda niat baik mu untuk mengkhitbah ku.” Tanpa keraguan sedikit pun aku mengirim pesan singkat itu.
Tak lama menunggu balasan Fajar pun ku terima. “Kenapa Put, aku sudah memutuskan untuk ke Batam pekan depan. Kenapa tiba-tiba kamu berkata demikian?” Tanya Fajar.
“Aku mau menamatkan kuliah ku dulu Fajar.” Jawab ku singkat.
“Iya, aku bisa menunggu. Kamu bisa menamatkan kuliah dulu baru menikah.” Terang Fajar.
“Afwan jiddan. Dengan tetap menghargai niat baik mu, aku tetap tidak bisa. Aku takut kehilangan ridho Allah karenanya, aku takut jika kelak aku tidak mampu menjaga hati ku. Aku tidak tahu siapa jodoh ku, kamu atau orang lain, namun biarkan aku menjaga kesucian hati ku untuk suami ku kelak. Aku tetap berharap jodoh ku adalah kamu, tapi sebelum tiba waktunya aku ingin tetap menjaga hati ku tanpa ikatan. Aku tidak memaksa mu untuk menunggu ku, jika kelak kamu menemukan yang lebih baik dari ku maka lamar lah dia. Jika ternyata Allah telah menggariskan jodoh mu adalah aku, aku yakin kita akan dipertemukan dalam pertemuan yang jauh lebih indah.” Bergetar hati ku saat mengetik kata-kata itu dan tak terasa butiran bening menetes di layar ponsel ku. Langsung ku kirim pesan itu pada Fajar dengan harapan dia bisa memahami maksud ku.
---------------
“Saya terima nikahnya Putri Aiska Mulya binti Hasan Mulya dengan mas kawin yang tersebut di bayar tunai” terdengar samar dari kamar ku lantunan indah ijab Kabul dan di sambung bacaan al-qur’an surah Ar-Rahman yang menggetarkan semua orang yang hadir dalam prosesi ijab Kabul sore ini.
“Selamat ya Put, kamu sudah sah menjadi bidadari bagi seorang Ahmad Fajar Syaumi,!” ucap Nisa tersenyum dan langsung memeluk tubuh ku erat.
“Allah memang sudah menggariskan setiap jodoh manusia. Ketegaran hati dan keteguhan mu untuk tetap menjaga hati telah di jawab oleh Allah.”
“Ayo kita keluar” ajak Nisa.
Dari depan pintu kamar ku pandangi wajah Fajar yang sangat teduh. Sungguh dia adalah karunia Allah yang sangat berharga bagi ku, disanalah terdapat pintu syurga yang menanti ku. Saat aku sudah menyerahkan semua pada-Nya, Allah mengembalikan sosok Fajar ke dalam hidup ku,orang yang selalu menggetarkan hati ku kala ku dengar semua tentang dia. Fajar yang sempat ku ‘singkirkan’ dalam pikiran ku, walau tidak untuk hati ku, Allah kembalikan ia untuk ku. Ternyata Allah telah menyusun waktu yang sangat tepat untuk pertemuan yang begitu indah ini. Aku telah menamatkan kuliah sesuai rencanaku, Fajar menjadi pengusaha sukses dan tetap menjaga hatinya untuk ku dan untuk ridho Allah.
“Subhanallah” bisikku pelan dengan senyum simpul menghiasi pipi indah ku. Damainya jiwa saat ku tatap beningnya mata Fajar yang kini telah halal bagi ku.

Sinar Bulan di Malam Kelam

Kala ku lihat bulan menyinari malam yang begitu kelam
Terpancar satu wajah dalam benak ku
Samar hingga aku harus meraba untuk melihatnya
Ragu
Tapi aku yakin itu kamu
Lentera cinta yang kau nyalakan
Membuat ku semakin yakin dengan langkah ku
Jalan yang berliku tak mengapa karena cahaya bulan begitu terang
Lentera cinta mu pun membimbing ku dengan baiknya
Kemerlap bintang yang menemani sang bulan
menjadi pemandangan indah dalam malam kelam
Kabut hitam yang mencoba menutupi bulan
Di cegah tegas oleh para bintang

Putri Kecil

"Papa, sini Luna saja yang kerjakan."

"Tidak usah Luna, kamu duduk saja disana ya."

"Tapi Luna mau coba Pa."

"Luna kan sudah besar Pa."

Kudengar samar percakapan anak kecil yang sedang bermanja dengan papanya di halaman rumah di tepi jalan yang ku lewati saat pulang dari rumah sahabat ku, Nisa. Ku lirik mereka yang sedang asyik memelihara bunga-bunga yang sangat indah. Anak kecil itu terlihat begitu manja pada papanya. Ku hentikan langkah ku dan sejenak meperhatikan kegiatan mereka, senyum simpul tak terasa merekah di bibir tipis ku. Ingatan ku kembali ke masa saat aku masih bisa bermanja dengan ayah di pekarangan belakang rumah. Aku ingat sekali suatu sore ayah mengajak ku memancing di empang yang tak jauh dari rumah. Sore itu terasa sangat cerah, langit masih tetap biru sebiru siangnya.
Waktu menunjukkan pukul empat sore, tiba-tiba ayah mengagetkan ku dari belakang saat aku sedang asyik nonton kartun Tom&Jerry kesukaan ku.

"Dek, mau makan ikan?" tanya ayah.

"Mau Yah, mau!" jawab ku manja.

"Kalau begitu ayo kita mancing." ajak ayah tersenyum.

"Mancing Yah? Mau mau, ayo kita pergi sekarang Yah." aku langsung beranjak dari depan televisi menarik tangan ayah, karena ingin segera pergi memancing.

Ayah sangat tahu kalau aku suka sekali memancing, setiap memancing aku selalu di ajak. Dan biasanya di saat memancing Ayah akan membakar dua ikan untuk kami makan bersama disana.

Tak perlu berlama di jalan kami sudah tiba di empang karena memang jaraknya sangat dekat dari rumah. Aku membawa umpan nasi lembek yang sudah di siapkan mama. Dengan satu ember kecil di tangan kanan ku dan tangan kiri berpegang erat pada ayah, aku berjalan dengan semangat yang sulit di gambarkan. Sesekali aku terpeleset karena girangnya berjalan sambil melihat pemandangan langit.

"Ayah, Ayah, pancing Putri gerak-gerak Yah." kata Putri Kecil kala itu.

"Tarik Put, ikan nya udah ketangkap itu." jawab Ayah langsung membantu ku yang kualahan menarik pancing kecil yang gunakan.

"Horeee...Putri dapet ikan!" teriak ku girang.

"Yuk Yah kita bakar ikan nya." ajak ku menarik-narik baju kaos yang ayah gunakan.

"Iya,!" jawab ayah tersenyum.

Matahari mulai menampakkan cahaya kuning kemerahan, aku dan ayah pun sudah banyak mendapatkan ikan.

"Ayah, langitnya bagus deh. Putri suka Yah."

"Putri minta ambilin buat di pasang di atas langit-langit kamar Putri ya Yah." seru ku manja pada ayah dengan sangat polos.

"Putri, langit itu tidak bisa di ambil. Putri nikmati saja pemandangannya dari sini ya." jawab ayah yang menatap ku lembut.

"Tapi nanti langitnya hilang Ayah." kata ku merengek pada Ayah.

"Sayang, langitnya tidak akan hilang, dia akan tetap disana. Putri bisa lihat langitnya setiap sore. Dia akan tetap seperti itu. Pagi, Putri bisa lihat matahari terbit, langitnya juga akan sangat indah. Malam Putri bisa melihat bulan dan kemerlap bintang-bintang di langit sana. Nanti kalau Putri mau ambil langitnya mereka semua akan menangis dan tidak akan pernah menampakkan keindahan lagi." terang ayah yang jongkok di depan ku untuk mensejajarkan mata kami.

"Tapi nanti Putri mau ditemani Ayah terus melihat langitnya." pinta ku pada ayah.

"Iya nanti ayah akan selalu temani anak kesayangan ayah ini untuk melihat langit sore." kata ayah yang sungguh membuat Putri Kecil lompat kegirangan.

"Sekarang kita pulang ya, nanti mama panik menunggu kita di rumah." ajak ayah mengacak-ngacak rambut ku.

Aku suka sekali saat ayah mengacak-ngacak rambut ku. Karena aku akan menghambur ke pelukan ayah dan minta di gendong jika ayah melakukan itu.^_^

------------------

"Kakak, kenapa berdiri di situ. Kakak mau ikut Menanam bunga bersama Luna?" suara manja anak kecil itu menyadarkan ku dari pikiran indah ku bersama ayah.

"Emmm.. tidak apa-apa dek. kakak hanya sekedar lewat saja." jawab ku kaku.

"Tapi kenapa kakak berdiri disini lama sekali?" tanya nya polos.

"Oh.. tadi kakak melihat Luna, keinget sama adek kakak di rumah jadi berhenti dulu sebentar." jawab ku sambil tersenyum malu.

"Ya sudah, Luna lanjutin menanam bunga ya, kakak jalan dulu." kata ku mengacak-ngacak kepala anak kecil yang sangat lucu itu dan langsung meninggalkannya sambil melempar senyum pada nya dan papanya.

Ku lihat jam tangan, waktu menunjukkan pukul lima sore. Ku arahkan mata menengadah ke atas melihat langit sore ini. "Persis" kata ku pelan. Warna kuning kemerahan memancar indah, menemani perjalanan pulang ku sore ini. Ku raih kamera yang ada di tas kecil ku, tak mau kehilangan pemandangan ini, akan ku abadikan ia selalu.

"Ayah aku bisa mengambil langitnya." bisik ku.

"Aku bisa setiap saat melihat langit sorenya ayah."

"Ayah pasti suka di sana. Disana ada langit sore juga kan ayah."

"Putri Rindu ayah."

"Putri sayang ayah."

"Semoga ayah bahagia di alam sana, sebahagia Putri disini bahkan lebih bahagia."

Tak terasa sungai kecil mulai mengalir dari sudut kecil mata ku yang asyik memandangi langit sore ini.

Sunrise Di Belakang Kampus Q

"Putri!" panggilan samar terdengar dari kejahuahan yang menghentikan langkah ku saat sedang lari pagi di pelataran kampus dekat kost ku. Mata mines ku yang tidak mengenakan kacamata mencoba menerka siapa yang sedang berjalan mendekati ku.

"Put, bisa ikut aku sekarang?" ternyata Fajar yang sempat membuat jantung ku bergetar saat melihat matanya yang teduh.

"Kemana?" tanya ku penasaran.

"Ke suatu tempat. Aku mau menunjukkan penemuan ku sama kamu." jawab Fajar yang membuat aku gugup karenanya.

Aku berjalan mengikuti langkah Fajar menuju ke suatu tempat yang asing bagi ku. Aku belum pernah ke daerah ini sebelumnya. Namun ada sebuah keindahan yang terpancar dari balik pohon-pohon itu. Cahaya mentari pagi terlihat menyusup di rimbunnya dedaunan pohon.

"Ini tempat apa Fajar?" tanya ku sambil berjalan menatap cahaya di balik pohon itu.

"Nanti juga kamu akan lihat sendiri." timpal Fajar.

Tak lama saat berjalan menerobos pepohonan melalui celah kecil yang ada di antara dua batang pohon yang paling ujung, aku menyaksikan sebuah keajaiban yang belum pernah ku lihat sebelumnya. Sungguh indah, cahaya merah yang terpancar membuat aku bisa melihat keindahan sang surya dengan mata telanjang tanpa harus menyipitkan mata. Aku takjub dibuatnya, merinding melihatnya, tak ku perhatikan lagi sekeliling ku, aku sudah tersihir dengan keindahannya yang tanpak dari dataran tinggi di belakang kampus.

"Put!" terdengar suara perempuan menepuk pundak ku.
"Serius sekali memandangi mataharinya. Seperti melihat pangeran yang turun dari langit saja." lanjutnya.

Tak ku lepas pandangan ku dari keajaiban itu, 'ini lebih dari tanpannya seorang pangeran' lirih ku menikmati cahaya merah itu.

Aku tidak mempedulikan Fajar dan perempuan yang menegur ku tadi. Aku asyik bersenda gurau dengan cahaya hangat yang menyentuh kulit kuning langsat ku.

"Aduh, aku tidak membawa kamera. Ini momen yang harus aku dokumentasikan. bagaimana ini." seru ku lesu karena tidak dapat mengambil foto keindahan cahaya merah menghangatkan itu.

"Ini sudah aku foto dari tadi dan dari berbagai sudut. Semoga kamu suka!" kata Fajar menyodorkan kamera sony warna hitam yang selalu dibawanya itu.

"Loh, Nisa! Kamu disini juga?" kaget ku melihat Annisa yang tiba-tiba ada di samping ku.

"Sudah dari tadi kali Put, kamu serius banget melihat matahari nya. Sampai-sampai sapaan ku kamu hiraukan begitu saja" Jawab Annisa dengan nada yang sedikit manja.

"Oh tadi itu kamu Nis, maaf ya!" kata ku nyengir melihat wajah Annisa yang cemberut karena tingkah ku.

"Iya Put, aku juga mengajak Annisa untuk menghindari prasangka tidak baik dari orang-orang. Lagian kamu juga pasti tidak mau kalau hanya berdua saja." timpal Fajar tersenyum.

"Bagaimana pemandangan pagi ini bagus, bukan?" tanya Fajar.

"Iya bagus banget. Terimakasih ya sudah memperlihatkan ini semua pada ku." kata ku tersenyum simpul pada Fajar dan langsung ku tundukkan pandangan ku.

"Iya sama-sama." jawab Fajar singkat.

"Cie..Cie.." goda Annisa yang ada di sebalah kanan ku.

Aku dan Fajar kenal dari suatu organisasi di kampus. Saat itu aku di amahi menjadi koordinator sie acara di suatu kegiatan. Hal itu mengharuskan ku banyak berkoordinasi dengan ketua pelaksana. Dan ketua pelaksananya adalah Fajar. Entah mulai dari mana aku diam-diam mengagumi sosok Fajar yang sangat berwibawa versi ku dan teman-teman ku itu. Sejak itulah aku sering berkomunikasi jarak jauh dengan Fajar. Di kampus kami jarang bertenu karena berbeda jurusan dan jarak gendung kami pun cukup jauh. Wajah tampannya dan keteduhan tatapannya sering menusup dalam benak ku. Sampai pagi ini aku dikagetkan dengan persembahan keindahan mentari pagi. Sungguh membuat aku semakin gundah dengan perasaan ku sendiri. Semua orang yang dekat dengan ku pasti tahu kalau aku sangat menyukai matahari pagi, begitupun dengan Annisa, namun ini pertama kali mereka mengajak ku melihatnya dan orang itu adalah Fajar. Betapa pagi ini adalah momen berharga dalam hidup ku, bukan hanya karena dapat melihat keindahan mentari pagi yang belum pernah ku lihat sebelumnya, tetapi juga karena yang mengajak ku itu adalah Fajar, orang yang sering hadir dalam otak ku tanpa diundang.

"Ayo kita pulang, mataharinya sudah menyilaukan mata." ajak Fajar membuyarkan lamunan ku dengan mata menatap layar kamera.

"Ayo!" jawab Annisa yang sudah tidak sabar ingin pulang dan mampir ke warkop karena dia kelaperan menunggu ku melihat cahaya merah matahari pagi sampai terang setinggi tombak di ufuk timur.

"Aku duluan ya, Put kamu bareng Nisa saja ya pulangnya." kata Fajar berjalan meninggalkan kami.

"Fajar!" panggil ku yang menghentikan langkah Fajar.

"Kameranya aku pinjam dulu ya. Mau minta foto-fotonya." lanjut ku

Fajar hanya mengacungkan jempol tanda persetujuan dan lanjut jalan belok ke kanan menuju surau dekat kostnya. Dan kami mengambil jalan lurus untuk mampir ke warkop samping kost ku.

"Put, Kamu naksir ya sama Fajar?" goda Annisa.

------The End------

CiNtA

Cinta bukan berarti harus jadi sepasang kekasih..

Cinta tak lantas harus mengorbankan semua untuk do'i..

Cinta tidak harus menyerahkan waktu, tenaga, materi, bahkn kesucian hati dan diri untuk do'i..

Baiknya Cinta membawa kita pada kebaikan..

Karena Cinta do'i berarti Cinta pada ciptaan Tuhan, maka harusnya Karena Cinta jadi lebih dekat denganNya..

Cinta itu menyatukan dua hati, maka harusnya, dengan Cinta akan lebih teguhlah iman kepada Nya..

Cinta itu suci, maka kembalikan cinta pada hakikatnya dengan menjalani cinta sesuai tempat, waktu, dan tujuannya...

Kesejukan Pagi

Tak berkedip mata memandang
Tak ingin lepas pada keindahan
Meresapi dinginnya pagi di puncak pangrango yang mengigit
Namun tetap memberikan kesejukan tersendiri
Banyak warna yang ku temui
Ingat
Ya seumur hidup kan ku kenang indahnya pagi ini
Kicau merdu burung bernyanyi
Awan putih mengepul di bawah ku
Tanpak layaknya lautan awan
Nyaman
Saat saat yang begitu nyaman
Udara sejuk
Sungguh pagi yang luar biasa

Rinduku, Rasaku

Rindu ku pada mu tak lantas menghanyutkan ku dalam buaian cinta serakah
Aku akan tegar menahan rindu
Aku akan tegas membenam nafsu
Aku hanya akan melepas rindu jika kelak kau halal untuk rasa ku
Batapa Tuhan menciptakan mu begitu sempurna
Hingga pagar sekuat tembok cina pun tak mampu membentengi singgasana hati ku
Sungguh kau memiliki keindahan yang melenakan mata
Hingga aku harus kuat mendirikan pagar untuk hati ku
Duhai engkau perebut hati ku
Aku akan tetap pada pendirian ku
Aku akan menjaga rasa ku sampai tiba di suatu masa ketika kau halal untuk rindu ku

Keajaiban di Puncak Slamet

Takjub Melihat Indahnya keagungan alam semesta dari tingginya gunung yang menjulang
Kalimat dzikir tak henti melantun dari bibir ku yang kelu akan dinginnya udara pagi di puncak Slamet
Bau blerang yang menusuk hidung tak lantas menjadi penghalang bagi ku menikmati keagungan Ilahi
Padang pasir yang yang membentang membuat ku kian takjub akan kuasa Sang Pencipta
Betapa ini sangat indah yang tak kan pernah ku dapati di Metropolitan sana
Sungguh Kuasa Mu luar biasa
Hingga tak cukup kosakata indah ku untuk menggambarkan keindahan ini
Tinggalah kalimat dzikir yang bisa keluar dari lisan ku
Mata ku tak bisa lepas dari memandangi alam indah Mu
Tak terasa sudut mata ku basah menikmati keajaiban Mu ini
Ketenangan yang menentramkan menghiasi pagi di Puncak Slamet
Ya Tuhan
Sungguh indah bila negeri ku seindah dan sedamai ini
Diberdayakan oleh Blogger.

.

.

.

.

.