GJ

Ketika itu aku duduk di bawah bintang-bintang yang yang menerawang dari celah-celah daun pinus
Andai aku bisa menjadi salah satu bintang yang paling terang
Itulah yang terpikir oles klu saat itu
Aku ingin menjadi yang terbaik di antara bintang-bintang itu

entahlah

Entah sejak kapan aku mulai suka menulis, bahkan hal yang tak penting sama sekalipun aku tulis. Seperti tidak ada kerjaan yang menantikan ku untuk dikerjakan. Namun saraf-saraf otak ku selalu mendorong tangan ku untuk menorehkan titik hitam di atas latar putih MS word.
Jakarta, aku ingin memulai kisah ku dari sini. Kehidupan yang sering aku bayangkan “jika aku hidup di Jakarta”. Beberapa saat lamanya aku hidup tanpa arah, semenjak dipanggilnya ayahanda tercinta ke pangkuan Sang Ilahi bahkan pengaturan hidup ku pun mulai kacau. Lamunan-lamunan tak berguna sering mendatangi ku tanpa disadari. Ayah yang selalu memanjakan ku kini tak lagi bersamaku, tak lagi di sisiku itulah kata yang selalu bersemayam di otak ku. Sampai suatu ketika aku sadar kalau hidup ku tak boleh selalu ada bayang-bayang yang membuatku berputar dalam keterpurukan. Saraf otak ku yang sempat ikut terkubur akhirnya kembali berfungsi normal bahkan jauh lebih normal dari sebelumnya. Saat itu aku kuliah di sebuah universitas negeri di daerah ku. Entah kenapa aku merasa aku harus pindah ke tempat yang bisa memberikan aku sedikit tambahan uang di luar kiriman dari Ibu ku yang single mother. Akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti tes lagi di salah satu perguruan tinggi kedinasan di Jakarta yang sebelumnya pernah ku ikuti namun gugur di tahap terakhir (red:wawancara). Mulai saat itu aku belajar ekstra untuk bisa lebih baik dari sebelumnya saat tes nantinya. Di selah-selah kuliah, aku menyiapkan diri untuk tes tersebut. Saat itu aku duduk di bangku kuliah semester dua. Namun itu semua tidak mengganggu kuliah ku, aku masih bisa menyelesaikan kuliah semester dua ku dengan baik, IP yang di dapat pun juga lumayan.
Sampai saat waktu tes tiba, aku melalui tes dengan beberapa hambatan yang tak perlu ku ceritakan. Pengumuman akhir pun ku terima lewat pesan singkat di handphone ku. Rasa tak percaya pun tak bisa digambarkan karena telah bercampur dengan perasaan bahagia. Singkatnya aku langsung go to Jakarta beberapa saat kemudian.
Jakarta, yang selama ini hanya aku ketahui dari media-media kini aku menginjaknya. Katrok memang, namun itulah impian ku dari dulu ingin besekolah di luar Pulau Sumatera. Banyak hal baru yang ku temui di sini, kota metropolitan yang katanya penuh dengan kemacetan, debu dan pengemis. Semua itu kubuktikan di sini san saat ini.
Di sekolah kedinasan, semua mahasiswanya akan mendapatkan uang saku itu yang ku tahu dan merupakan salah satu alasan ku meninggalkan tempat kulih ku yang pertama. Tak tega melihat wajah ibu yang mulai keriput bekerja keras demi menyekolahkan ku sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Ingin segera menghilangkan keriput di kening ibu yang tak kenal lelah memikirkan ku. Namun khayalan ku yang tak ingin membebani ibu dengan biaya kuliah ku itu belum bisa terwujud. Ternyata hidup di Jakarta cukup susah, uang saku dari kampus juga belum cair sehingga aku masih tetap meminta kiriman dari ibu ku. Sampai dua bulan aku hidup di Jakarta masih hidup dengan murni mengandalkan kiriman ibu. Saat mulai bisa beradaptasi dengan baik aku mulai berpikir mencari kerja sampingan untu mengurangi jatah kiriman dari ibu. Beruntung, di saat-saat aku sangat ingin mengurangi beban ibu seorang kakak tingkat di kampus ku menawarkan kepada ku untuk mengajar privat. Tanpa pikir dua kali aku langsung menerima tawaran itu mengingat aku pernah kuliah pendidikan guru selama satu tahun, yah walaupun baru segelintir ilmu yang ku dapat tapi itu cukup menumbuhkan rasa percaya diri ku. Seiring waktu berjalan, murid ku sudah tiga orang uang saku dari kampus pun telah ku terima. Tidak terlalu besar gaji yang ku terima dari mengajar tapi Alhamdullah itu cukup membantu mengurangi kiriman ibu untuk ku. Impian ku saat ini, aku ingin melihat ibu tersenyum manis tanpa ada kerut di keningnya karena selalu memikirkan ku. Aku ingin ibu menangis terharu melihat anak-anaknya sukses di negeri orang dan ibu bisa melakukan yang diinginkan dengan tanpa beban. Dan ayah yang selalu memanjakan aku namun selalu berkata “Tapi kamu jangan manja ya”, beliau bisa tersenyum lebar karena anak-anak yang pernah beliau didik kini bisa membuat istri yang beliau cintai menangis bahagia. Ada lagi aku ingin kakak-kakak ku yang selalu menjaga ku sukses meraih mimpi masing-masing.
Terima kasih ibu yang tak pernah lelah untuk ku dan kakak dapat meraih sukses walau keringat tak pernah kering. Terima kasih ayah, walau kini tak lagi disisi ku namun keringat mu yang telah mengalir dalam tubuh ini akan senantiasa mengantarkan ku menuju kesuksesan. Kak Andi, kak Herly, kak Mirsa, terima kasih karena kalian aku bisa tegar menghadapi semua. Aku selalu rindu akan kasih sayang dari kalian sungguh aku mencintai kalian karena Allah.
Entah apa yang ingin ku tulis sebelumnya, namun inilah hasilnya. Sebuah tulisan yang entah apa manfaatnya aku saja juga tidak mengerti.
Diberdayakan oleh Blogger.

.

.

.

.

.