Cinta Itu Fitrah

“Dila, aku sudah bosan dengan rasa ini! Sudah tiga tahun aku memendam rasa ini untuknya Dil, sungguh aku bosan.”

“Iya, aku mengerti apa yang sedang kamu rasakan. Tetapi kamu harus tetap bersabar dan positif thinking padanya dan pada-Nya.”

“Aku lelah Dilaaaaa…”

“Gladis, aku mengenal mu sebagai wanita yang kuat. Jangan hanya karena masalah ini kamu menjadi lemah dan pasrah. Justru sebaliknya, dengan ini kamu menjadi lebih kuat dan memetik hikmahnya supaya kedepannya lebih baik lagi.”

“Jujur, rasa ini begitu menyesakkan dada ku Dil. Adakah yang salah dengan rasa ini.?”

“Tidak ada yang salah dengan perasaan cinta mu itu. Itulah fitrahnya manusia untuk mencintai dan dicintai. Hanya saja ketika perasaan itu muncul tugas kita lah untuk menjaganya agar tetap sesuai fitrahnya, suci. Dan hendaknya cinta itu pula yang menambah kadar kecintaan kita pada Pemilik cinta itu sendiri.” Kata Dila meyakinkan.

“Kamu tahu Dil, dua tahun yang lalu, saat dia mengetahui aku menaruh hati padanya, sebenarnya dia telah memberiku lampu merah agar aku berhenti mengharapkannya, walaupun secara tidak langsung. Waktu itu dia mengatakan bahwa dia sudah berkomitment pada seorang teman SMA nya, dia berkomitment akan melamar wanita itu. Namun pada waktu bersamaan dia juga mengatakan dibingungkan dengan perasaannya sendiri. Ia sempat mengatakan suka pada ku walau ia tarik kembali kata-kata itu.”

“Aku tahu, aku salah karena sudah melampaui batas dalam menjalin pertemanan dengan lawan jenis. Awalnya aku hanya kirim-kirim sms biasa, namun saat ada sms darinya ada kebahagiaan tersendiri menyirami batin ku. Aku pun menyadari ada yang salah dengan hati ku kala itu.”

“Namun sejak dia mengatakan telah berkomitmen akan melamar teman SMA nya, aku berusaha untuk melupakannya dan mengubur perasaan cinta itu dalam-dalam. Tapi bukan hilangnya rasa itu yang ku dapat, malah semakin aku tidak bisa menghentikan pertumbuhan cinta itu dalam hati ku hingga saat ini. Dan ternyata benar, sekarang ia melamar wanita sesuai komitmennya dulu.”

“Dulu aku sempat dikenalkan dengan Lina, teman SMA nya, dan kami pun sempat berkomunikasi lewat email. Saat itu aku biasa saja walau sempat cemburu pada Lina, dan beralih untuk melupakannya saja.”

“Batin ku menjerit Dil, saat ku mendapat undangan pernikahannya dengan Lina. Padahal dulu aku sempat mengatakan untuk tidak mengundang ku jika kelak ia menikah dengan orang lain.”

“Sekarang aku baru menyadari, cukuplah Allah yang tahu siapa orang yang kita cintai. Kekhilafan ku dulu cukuplah menjadi pelajaran berharga yang tidak akan aku lupakan.”

“Aku salut pada mu Dis,!” Kata Dila tersenyum lembut menatap temannya yang sedang ‘patah hati’ itu.

“Ingat Dis, Cinta Itu Fitrah. Maka jagalah agar jangan menjadi Fitnah!”

Rasanya langit-langit kamarnya malam ini terasa berbeda dari biasanya, entahlah, tapi seperti ada sesuatu yang ganjil. Entah perasaannya yang salah, atau memang ada yang salah dengan langit-langit kamar ku ini. Kata-kata Dila pagi tadi rupanya masih terngiang-ngiang dalam benaknya. “Ingat Dis, Cinta Itu Fitrah. Maka jagalah agar jangan menjadi Fitnah!”. Belakangan ini Gladis sering terlihat melamun, ada sesuatu yang membuatnya selalu dihantui perasaan galau tak karuan.

Sejak dua minggu yang lalu, tepatnya saat laki-laki yang disukainya mengatakan ingin melamar seseorang yang dia kenal, dia menjadi di bingungkan dengan perasaannya sendiri. Menyesakkan dada. Perasaan yang dulu begitu lembut menyelimuti hatinya yang selalu ia jaga fitrahnya agar tidak menjadi fitnah berubah seolah menjadi penyebab hilangnya konsentrasinya dalam beraktifitas. Rasa yang dulunya mengalir dengan harmoni, rasa yang dulu seolah bisa membuat dia semakin dekat dengan Sang Pencipta karenanya, semua seakan hanya ada dalam mimpinya saja.

“Mungkin ini juga salah ku yang membiarkan rasa itu masuk begitu dalam di relung hati ku.” Lirihnya lembut memandangi wajahnya yang berbentuk oval berhias bulu mata lentik dan bibir tipisnya yang menawan dari pantulan kaca di sudut kamarnya.

“Dila benar, aku harus menjaga fitrah cinta ini agar tidak menjadi fitnah. Biarlah rasa ku tetap hanya diketahui oleh-Nya saja. Walaupun begitu menyesakkan dada menahannya, aku hanya bisa berdo’a agar pertemuan ku dengan jodoh ku telah di atur sedemikian rupa hinggga mendatangkan kebahagiaan tiada tara kelak.”

------------------------------

“Gladis, kamu yang sabar ya. Insyaallah, Dia sudah merencanakan pertemuan yang lebih baik antara kamu dengan pemilik tulang rusuk mu.” Senyum Dila mengembang simetris kanan dan kirinya.

Undangan merah marun yang tampak glamor tergeletak indah di atas meja kerja Gladis pagi itu. Tidak bisa ia bendung lagi airmatanya, saat dia baca dan melihat pasangan nama yang tertera disana. Laki-laki yang dia cintai dan wanita yang ia kenal. ‘perasaan apa ini? Harusnya aku bahagia.’ lirihnya dalam tangis kecil yang membasahi wajah babyface nya. Balutan kerudung biru muda yang menutup rapat auratnya yang biasanya di hiasi dengan semangat menggebu-gebu hilang seketika saat ia mengetahui orang yang sering mengusik pikirannya akan segera menikah dengan temannya sendiri.

“Gladis, kamu tidak apa-apa?” Tanya Dila yang melihat butiran bening jatuh dari mata sipitnya.

“Aku tidak tahu Dil, apakah aku baik atau tidak.” Desahnya, menghembuskan nafas panjang.

“Aku tidak mengerti dengan diri ku sendiri. Harusnya aku bahagia melihat teman ku akan menikah, namun bukan kebahagiaan yang kudapati, malah rasa sakitlah yang menyelimuti hati ku saat ini.” Lanjutnya sambil menghapus airmatanya yang sudah mengalir sedari tadi.

“Kamu yang sabar ya Dis, maaf aku tidak bisa membantu banyak, aku hanya bisa berdo’a semoga Allah mempersiapkan jodoh yang terbaik bagi mu” kata Dila memeluknya yang masih larut dalam airmata.

‘Iya, amiin. Walaupun sebenarnya aku tetap berharap Fathan lah jodoh yang di gariskan Allah untuk ku.’ lirihnya dalam hati.

Belum surut kesedihan yang mendera Gladis mendengar kabar pernikahan Fathan, hari itu pun tiba, hari dimana dia harus memenuhi undangan walimatul ursy Fathan dan Lina.
‘Andai memenuhi undangan tidak wajib hukumnya, maka sedikitpun aku tidak mau menyaksikan Fathan bersanding dengan orang lain. Ya Rabbi ampuni aku’ lirihnya pagi itu sebelum bergegas pergi ke rumah Fathan yang membutuhkan waktu empat puluh lima menit dari rumahnya. Sungguh terasa berat baginya untuk bersiap-siap memenuhi undangan itu namun ia tidak boleh jadi pengecut dengan melarikan diri dari ‘masalah’. Ia lihat baik-baik wajahnya di cermin dan bertekad kuat dia harus menghadapi kenyataan bahwa Fathan bukanlah jodohnya dan dia mesti mengucapkan selamat serta do’a untuk Fathan juga temannya Lina walaupun belum lama dia mengenal Lina.

“Non Gladis, itu mbak Dila sudah menunggu di ruang tamu” suara Bi Ati membuyarkan lamunannya.

“Oh iya Bi, sudah lama belum Bi Dila datangnya?”

“Sejak sepuluh menit yang lalu Non”

“Iya, terimakasih ya Bi”

Bi Ati hanya mengangguk dan tersenyum kemudian beranjak keluar dari kamar Gladis. Mata Gladis memerah terlihat seperti menahan tangisan yang kuat. Rasa itu semakin menyesakkan dadanya. Dia akan melihat orang yang dicintainya selama tiga tahun –walau hanya disimpan dalam hati- mengucapkan akad untuk menikahi orang lain.

“Kamu baik-baik saja Dis?” Tanya Dila.

“Iya Dil aku baik koq. Ayo kita berangkat.” Jawabnya santai menyembunyikan gemuruh dalam hatinya.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Fathan ada sedikit keraguan yang menelusup dalam batinnya. ‘Haruskah aku hadir dalam pernikahan tersebut? Ya Allah tenangkanlah hati ini’ desahnya pelan. Saat sudah tiba begitu berat langkahnya untuk mengalun menapak, ia pandangai orang di sana sudah ramai, semua tampak bahagia penuh senyuman ikhlas penuh do’a. Dia melihat Fathan dan Lina dari kejauhan, mereka sangat serasi. Balutan kerudung hijau daun selaras dengan kebaya yang dikenakannya, membuat Lina kian cantik bak seorang putri. Begitu pun Fathan, dia tanpak lebih tampan dari biasanya. ‘mereka benar-benar serasi’ pikirnya dalam hati. Senyum bahagia yang tak pernah hilang barang sedetik pun dari wajah kedua mempelai membuat Gladis ragu untuk menemui mereka, ia takut akan mengganggu pikiran Fathan yang sedang gembira dengan kehadirannya karena Fathan tahu perasaannya pada Fathan. ‘Bismillah, aku harus kuat setidaknya sampai aku selesai mengucapkan selamat kepada Fathan dan Lina’ lirihnya sambil melangkahkan kaki menuju pelaminan.

“Selamat ya Lina atas pernikahan mu dengan Fathan,!” Ucapnya pada Lina sambil memaksakan senyum seikhlas mungkin untuk menutupi hujan lebat dalam hatinya. Setelah itu Gladis pun langsung membalikkan badan dan berlari keluar menahan air mata yang ingin segera mengalir dari sudut mata sipitnya.

------------------------

اللهُ أَكْبَرْ, اللهُ أَكْبَرْ


“…..أَشْهَدُ أَن لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهْ

“Astaghfirullah, sudah adzan subuh.”

“Ternyata hanya mimpi, tetapi kenapa seperti nyata sekali. Sangat menyesakkan dada ku.” Lirihnya dengan terus beristighfar.

“Kenapa aku bermimpi seperti itu. Astaghfirullah ya Allah.” Bisiknya dan mengusap mukanya dengan kedua tangannya. Ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan mengambil air wudhu. Ia merasa ada sesuatu yang hilang pagi ini, bukan saja karena mimpinya yang membuat batinnya menjerit melainkan karena baru malam ini ia kelewatan sholat tahajjud. Ibadah unggulannya yang belim pernah ia tinggalkan kecuali saat datang bulan. Ada perasaan bersalah luar biasa menghantuinya pagi ini, karana hanya karena mimpi itu dia kebablasan hingga adzan subuh baru terjaga.

Di awali sholat rowatib dua rakaat kemudian dilanjutkan dengan sholat subuh dua rakaat ia bersimpuh mengadu pada Illahi Rabbi. Dalam khusyu’ penuh rasa bersalah ia memohon ampun pada Yang Maha Pengampun. Dalam sujud yang panjang ia mengadu pada Pemilik cinta atas rasa di hatinya dan mimpinya yang telah membuat ia kehilangan satu ibadah unggulannya hari ini.

‘Ya Ghafar, ampuni hamba yang telah lalai menjalankan komitmen hamba pada Mu untuk menjadikan tahajjud sebagai ibadah unggulan yang tidak akan pernah hamba lewatkan. Tapi malam ini malah hamba kelewatan hanya karena sebuah mimpi yang tidak berarti seperti itu, ampuni hamba Ya Allah.’

‘Ya Allah, tenangkanlah hati hamba, jauhkanlah kegalauan yang selalu mendera batin hamba.’

‘Ya Waduud, siramilah jiwa hamba dengan kesejukan cinta suci kepada Mu’

‘Ya Muqiit, Peliharah cinta hamba padanya agar dapat menambah kecintaan hamba pada Mu’

‘Ya Allah, kalau memang dia adalah jodoh yang telah Engkau gariskan bagi hamba maka tolong tenangkanlah hati ini atas cinta hamba padanya. Dan jika Engkau telah mempersiapkan yang lebih baik bagi hamba, tolong gantikan cinta hamba padanya dengan rasa sayang seperti halnya rasa sayang hamba pada umat Mu yang lainnya’

‘Ya Mujiib, perkenankanlah do’a hamba. Amin ya robbal alamin.’

Tetesan bening selembut embun pun mengalir membasahi sajadah hijau muda sebagai saksi sujudnya pada Sang Khaliq.



.






.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

.

.

.

.

.