Ketika Sofia Beranjak Dewasa

Cahaya kuning bersepuh kemerahan mulai tampak di ufuk timur. Embun pagi menetes lembut dari daun rerumputan. Terlihat seperti mutiara yang bersinar indah memantulkan cahaya sang mentari pagi itu. Angin lembut menyapu wajahnya yang putih bersih bercahaya. Ia pejamkan mata sembari menghirup udara sejuk di pagi nan indah memesona.

Dia sapa ibu-ibu, bapak-bapak, juga anak-anak yang juga sedang menikmati keindahan pagi itu. Senyum sumringah penuh keikhlasan selalu menghias bibir tipis nya yang indah.

“Selamat Pagi Pak!” “Selamat Pagi Bu!” “Adeeekk...Ayo lariii!” atau “Ayo Bu semangat Larinya...” katanya setiap berpapasan dengan orang saat ia mengelilingi jogging track yang ada
di dekat kompleks kampusnya.

Sejenak ia berhenti di padang rumput di luar jogging track yang tepat berada di belakang pagar kampusnya itu. Jarang ada orang yang kesana. Hanya dia dan seorang ibu-ibu yang menggendong bayi mungil erat dalam pelukannya yang selalu singgah ke tempat itu setiap pagi.

“Selalu Kau berikan kehangatan ini setiap pagi. Segala puji bagi Mu Ya Allah atas segala nikmat Mu.” Katanya pelan sambil menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan basmallah.

“Tapat satu bulan enambelas hari” desahnya sambil tersenyum.

“Aku pasti bisa.” Katanya begitu semangat.

Beberapa waktu yang lalu ia sudah bertekad untuk hidup mandiri tanpa meminta uang bulanan sama orang tuanya lagi. Walau ia tahu akan ada kesulitan-kesulitan yang akan ia temui. Bermodal keyakinan dan tekad yang kuat akhirnya ia putuskan untuk tidak menjadi beban orang tuanya lagi.

“Sofia, kamu yakin dengan keputusan kamu?” tanya Syifa, teman baik Sofia, yang mengetahui keadaannya saat itu.

“Iya Fa, InsyaAllah aku yakin!” katanya menyungging senyum terindahnya.

“Baiklah kalau begitu, kalau kamu kesulitan jangan segan-segan yah bilang sama aku. InsyaAllah aku akan berusaha bantu!” kata Syifa.

“Iya Fa, Makasih yaa!” kembali ia melontar senyum menawannya.

“Eeemm.. tapi kenapa sih Sof, kamu bisa bertekad sekuat ini?” tanya Syifa penasaran.

Suasana kamar Sofia yang berukuran 3x3 meter itu menjadi hening. Syifa masih menunggu dengan sabar jawaban dari sahabatnya itu.

“Kamu tahu Fa, beban terberat yang menimpa pundak ku adalah ketika aku masih menengadahkan tangan meminta kiriman pada kedua orang tua ku.” Katanya mulai bersuara. Syifa masih terdiam menyimak setiap perkataan yang dikatakan Sofia.

“Orang tua ku sudah semakin renta. Kemarin waktu pulang liburan, ku lihat mereka semakin keriput. Namun mereka masih tetap semangat mencari nafkah, pagi-pagi sekali sudah pergi ke ladang dan pulangnya menjelang magrib.”

“Hati ku terhenyak. Mereka yang sudah tua, tenaga pun tinggal separo, namun mereka masih bisa bekerja keras.”

“Saat itulah terasa beban berton-ton menimpa pundak ku.” Air mata bening menetes lembut di wajah bersih Sofia.

“Aku berpikir, kenapa aku yang punya tenaga sekuat baja seperti ini tidak mampu menghidupi diri ku sendiri. Begitu teganya aku membebani mereka yang sudah renta, sedang aku hanya berleha-leha saja, kuliah gratisan dari mereka. Padahal aku ini sudah cukup dewasa untuk dapat menghidupi diri sendiri.” Lanjutnya menghela nafas panjang.

“Bertahun-tahun mereka menafkahi ku penuh kesabaran tanpa pamrih. Aku rasa itu sudah lebih dari cukup. Kini saatnya aku menghidupi diri ku sendiri dan membahagiakan mereka.”

Suasana kembali hening, sumur air mata bening masih terus mengalir dari sudut mata Sofia. Bukan karena sedih tidak mendapat uang dari orang tuanya, namun ia letih menahan beban di pundaknya atas ketidakmampuannya selama ini meringankan beban orang tuanya.

Syifa, yang sejatinya anak orang berada pun merasa terhenyak hingga meneteskan air mata. Ia terharu dengan apa yang dilakukan temannya itu. Selama ini ia selalu berfoya-foya atas uang dari orang tuanya tanpa memikirkan betapa sulitnya mereka mencari uang untuknya.

“Makanya sejak bulan lalu aku meminta pada ayahdan ibu ku untuk tidak mengirim uang lagi untuk ku.” Lanjutnya memecah keheningan.

“Waktu aku bilang untuk tidak mengirim uang lagi, ada kelegaan yang ku tangkap dari tanggapan ayah dan ibu. Mereka bertanya dari mana aku dapat uang untuk hidup di ibukota dan untuk biaya
kuliah. Aku hanya bisa menjawab meyakinkan mereka, bahwa aku kuliah sambil kerja sambilan, dan ku katakan bahwa penghasilan ku itu bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya kuliah ku.”

“Saat itu ayah lebih banyak diam. Aku tidak tahu apa yang beliau pikirkan, Ayah hanya berkata ‘Ya sudah kalau begitu, nanti kalau kamu kehabisan uang bilang sama Ayah’. Kata yang singkat tapi dalam sekali merasuk ke lubuk hati ku.”

“Dan sekarang aku bisa menghidupi diri ku sendiri Fa. Rasanya lega sekali, beban terberat dalam hidup ku sudah terlepas.” Binar matanya menghapus air mata yang sedari tadi terus mengalir itu.

“Kamu yakin bisa bertahan Sof?” tanya Syifa sedikit ragu.

“Syifaaa. Jauh sebelum kita lahir Allah telah menyiapkan rezeki untuk masing-masing hamba-Nya. Dari yang ku ketahui, rezeki itu ada tiga jenis. Yang pertama, rezeki yang di jamin. Yang kedua, rezeki yang di janjikan. Dan yang ketiga, rezeki yang di gantung.”

“Allah sudah menjamin rezeki kita seperti kebutuhan kita atas makan, minum, itu sudah Allah jamin untuk setiap umat-Nya. Allah juga berjanji memberi rezeki bagi umat-Nya, juga sudah menyiapkan rezeki yang masih Dia gantungkan entah diman. Nah tugas kita hanya berusaha dan terus berusaha untuk menjemput semua rezeki-rezeki itu.”

“Aku senang menjalani keseharian ku, walau kejar-kejaran makan dan menahan lapar. Yang terpenting bagi ku sekarang adalah aku bisa mengangkat beban berat di pundak ayah dan ibu, itu saj sudah sangat membuat ku lega.” Katanya tersenyum memandangi sahabatnya yang tertunduk diam.
Perlahan Syifa mengangkat mukanya dan tersenyum.

“Baiklah Sof, aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku tahu orang tua ku berkecukupan tapi aku juga tahu mereka bekerja begitu keras untuk bisa begitu.” Kata Syifa penuh antusias.

“Mulai bulan depan aku juga akan mandiri.” Kata Syifa yakin.

“Tapi bantu aku cari kerja sampingan kaya kamu ya Sof..hehehe” lanjut Syifa dengan nada memohon.

“Kalau kamu seyakin itu, aku akan membantu mu Fa. Dengan senang hati.” Katanya lembut dengan senyum tipis nan indah andalannya.








.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

.

.

.

.

.