Pengamen Kecil

Sore menjelang di stasiun kereta Serpong. Ditemani hujan rintik-rintik yang terdengar merdu berjatuhan di atas genteng Peron 3. Ku lihat jam di Handphone ku, masih ada sepuluh menit lagi sebelum keberangkatan. Sore itu ku pilih KRL Ekonomi untuk ku naiki. Langsung saja ku naik ke gerbong yang tepat berhenti di hadapan ku. Belum banyak orang yang naik karena kereta itu baru saja tiba. Ku lihat di pojok dekat pintu ke gerbong sebelah bapak-bapak paruh baya yang sibuk dengan koran yang ia temukan di samping tempat duduknya. Dan tepat di seberang tempat duduk Ku, ada seorang ibu-ibu dengan seorang anak perempuan kecilnya yang lucu, Ku lempar senyum pada mereka berdua dan mereka langsung membalas dengan senyuman yang begitu tulus.

Tak lama menunggu akhirnya kereta yang ku tumpangi pun diberangkatkan. Ada beberapa pengamen yang buru-buru masuk lewat gerbong tempat ku duduk dan langsung menuju gerbong yang lebih ramai. Hanya ada dua anak kecil yang berhenti di gerbong itu. Yang satu membawa gitar yang lebih besar dari ukuran tubuhnya, tangan kirinya pun masih terlalu pendek untuk menekan kunci nada. Dan anak kecil yang satunya siap-siap untuk bernyanyi. Anak kecil itu mulai memetikkan gitarnya dan melantunkan syair-syair lagu, aku tidak begitu mendengar lagu mereka karena aku juga mendengarkan lagu dari handphone ku dengan headset, yang ku tahu lagu itu di populerkan oleh grup band ST 12.

Kereta terus melaju, Angin malam Kota Metropolitan menyapu seluruh tubuh ku. Terasa dingin menyegarkan setelah kepanasan saat menunggu di stasiun. Ku perhatikan lagi dua pengamen kecil itu, petikan gitarnya cukup piawai untuk ukuran anak kecil seperti dia. Segera ku alihkan pandangan ku ke luar pintu sambil memandangi lampu-lampu tol yang dekat dengan jalur kereta di sebah kiri karena mata ku mulai basah berkaca-kaca.

Pikiran ku melayang menjelajahi kota Metropolitan, terbawa derasnya angin yang menerpa ku yang datang dari pintu di dekat ku. "Sekejam apa sebenarnya kota ini?" lirih ku.
Entah seberapa keras aku berpikir, tak mampu ku menemukan jawabannya.

Pengamen kecil itu, perkiraan ku baru berusia 7 tahunan. Mereka masih begitu kecil, bahkan jika gitar yang dia pegang di tegakkan akan lebih tinggi gitarnya dari pada pengamen kecil itu. Entahlah, ku rasa seharusnya mereka baru mengerti yang namanya sekolah atau bermain dengan teman-temannya seperti layaknya anak-anak seusia mereka.

Sebegitu kejamkah ibu kota, hingga anak sekecil itu sudah mencari nafkah sendiri. Aku tidak mau terburu-buru berpikir bahwa orang tuanya yang mengajarkan untuk melakukan itu. Tapi yang ada dalam benak ku adalah, seberapa sulitkah kehidupan yang mereka hadapi sehingga mereka, pengamen kecil itu, harus berkeliling ke gerbong demi gerbong, kereta demi kererta untuk mengumpulkan receh-receh ataupun selembar uang ribuan yang keluar dari kantong para penumpang.

Miris sekali melihat pemandangan itu, ingin rasanya ku tawari saja mereka, pengamen kecil itu, untuk menjadi adik ku saja.

Duhai petinggi negara ku, ku harap anda dapat membuka mata dan hati anda untuk melihat betapa rakyat negara ini masih begitu banyak yang butuh uluran lembut tangan anda dan teman-teman anda yang duduk di singgasana negara ini.

Image source: http://noem.multiply.com/journal?&page_start=20

3 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

.

.

.

.

.