Jembatan Di Atas Tol


Pagi ini terasa sangat sejuk, kota metropolitan belum menghadirkan jamuan asap kendaraan untuk dinikmati. Jam dinding di kamar ku menunjukkan pukul 5.30 pagi aku segera bergegas keluar menuju sebuah masjid di dekat ruman ku. Pagi ini aku mempunyai janji dengan sahabat ku untuk lari keliling komplek. Duduk di pelataran masjid sambil mendengarkan music dengan headset memperhatikan beberapa ibu-ibu yang berlalu lalang di depan ku. Tak lupa ku tundukkan kepala ku dan melempar senyum pada mereka.

“Kemana sih Nisa?” pikir ku yang sudah lebih dari sepuluh menit menunggu.

“Assalamu’alaikum, Nis!” sapa ku menelpon Nisa.

“Wa’alaikumsalam. Maaf Put, aku tidak bisa ikut lari. Barusan kaki ku terkilir di kamar mandi” jawab Nisa langsung memberitahu ku.

“Oh ya sudah aku ke sana sekarang!” kata ku

“Tidak usah Put, aku baik-baik saja. Kamu pergi lari sana, nanti kamu tidak bisa melihat matahari kemerahan!” kata Nisa lembut.

“Bener kamu tidak apa-apa?”

“Iya Put. Kamu sendiri tidak apa-apa kan sendiri?” Tanya Nisa

“Iya. Ya sudah aku jalan dulu ya. Cepet sembuh, nanti aku kesana setelah lari”

Beruntung Nisa tidak jadi ikut, pikir ku. Aku langsung melangkahkan kaki dan mengelilingi komplek dengan hati yang berkecamuk. Kemarin sepulang kampus, Fajar menemui ku dan mengatakan bahwa dia akan berhenti kulaih dan pulang ke Surabaya pagi ini. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk lari pagi, bukan tujuan utama ku melihat matahari kemerahan seperti alasan yang ku katakan pada Nisa. Setiap hati ku tidak tenang aku pasti melampiaskannya dengan berlari, rasanya lega setelah lari sekencang yang aku bisa.

Entah sejak kapan aku suka pada Fajar, yang jelas sejak enam bulan yang lalu aku sering berkomunikasi dengannya, yah walau hanya sekedar kirim-kiriman pesan singkat atau chatting di YM. Pernah suatu ketika kami chatting, aku ingat waktu itu Fajar menanyakan soal jodoh. “Put, menurut kamu jodoh itu bagaimana?” Tanya Fajar waktu itu. Saat itu aku menjawab tidak mengerti karena itu rahasia Allah. Sekali lagi dia bertanya apakah aku bisa menebak siapa jodoh ku, yah langsung saja aku menjawab tidak tahu, walau sebenarnya aku sudah mengetik “Aku berharap kamu jadi jodoh aku Fajar!” namun segera ku hapus dan ku urungkan niat ku mengirim pesan itu. Sejak itulah Fajar sering masuk dalam pikiranku. Aku tahu Fajar pun merasakan hal yang sama. Walau kami tidak mengakuinya satu sama lain. Setiap bertemu pun aku dan dia tidak pernah bertatap mata, hanya sekedar melihat lalu menunduk. Sampai kemarin dia mengatakan akan pulang ke kampung halamannya, Surabaya, entah sampai kapan dan tidak memberitahu alasannya.

-------------------

Ku hentikan langkah ku di sebuah jembatan yang selalu ku lewati setiap lari pagi di luar komplek tempat tinggal ku dan merupakan tempat ku menikmati keindahan mentari pagi. Ku lihat jam tangan ku menunjukkan pukul enam, matahari belum menampakkan cahayanya. Yang ada hanya deru laju mobil di jalan tol yang berada di bawah jembatan tempat ku berdiri. Ku pandangi setiap mobil yan berlalu lalang. Jakarta, masih sepagi ini sudah ramai oleh orang-orang super sibuk yang akan menjalani aktivitas mereka masing-masing.heemm.

“Aku ingin hidup lebih nyaman dari kebisingan ini.” Bisik ku.

“Impian ku sangat sederhana, memiliki rumah di dekat pantai agar bisa melihat indahnya sunrise
setiap pagi, dengan halaman depan yang luas dan ada taman bunga nan indah disana, juga di belakang rumah ada kolam renangnya. Heemm,, rasanya aku bisa merasakan ketenangan disana” pikir ku tanpa sadar mengungkapkan impian ku dengan mata tak lepas dari memandangi mobil yang simpang siur melintasi jalan tol di bawah jembatan.

Seketika mata ku terpaku memandangi sebuah mobil, Camry warna hitam yang sungguh itu tak asing bagi ku. Aku yakin begitu banyak orang yang punya mobil itu di Jakarta, namun aku tahu dan sangat mengenal mobil itu. Mata ku terus menatap mobil itu yang semakin menjauh hingga tak terlihat.

“Selamat jalan Fajar. Semoga kamu selalu bahagia di sana” lirih ku.

Tanpa terasa setetes embun bening menetes dari sudut mata ku. Kenapa aku menangis, kenapa dada ku terasa sesak sekali, kenapa jantung ku berdetak tidak seperti biasanya. Semua pertanyaan itu memenuhi otak ku. Aku tertunduk malu karena orang-orang menatap ku heran.

“Ayolah, Put. Memangnya siapa Fajar bagi hidup mu hingga kamu harus begini.” Kata ku menyemangati diri.

Berlari ku sekencang-kencangnya untuk menghilangkan semua sesak dalam dada ku. tanpa peduli dengan orang-orang yang keheranan memandangi ku.

----------------

Tiga tahun berlalu setelah pagi itu, ku jalani hari dengan aktivitas yang ku atur sepadat mungkin agar aku bisa melupakan semua ingatan ku tentang Fajar. Walau tidak sepenuhnya lupa, namun itu cukup membuat ku merasa lega terlepas dari memikirkan Fajar. Tahun lalu aku menyelesaikan kuliah ku dan mendapat gelar sarjana ekonomi.

“Put, bulan depan kamu sudah sarjana akuntansi. Mama mau memberi hadiah, Putri mau hadiah apa?” Tanya mama dari depan pintu kamar ku yang sudah terbuka sedari tadi.

“Eeemm.. Terserah mama sajalah, apapun itu kalau dari mama, Putri pasti suka” jawab ku melempar senyum pada mama.

“Ya sudah kalau begitu, nanti jadi kejutan saja ya.” Kata mama yang langsung meninggalkan kamar ku.

“Fajar, apa kabar mu?” lirih ku. Sejak bertemu sepulang dari kampus sore itu tidak ada kabar sama sekali darinya. Sepeti di telan bumi saja, semua akun di dunia maya pun juga di tutup. Apa yang terjadi sebenarnya, pikir ku.

“Ma, Putri keluar dulu ya!” pamit ku.

“Mau kemana Put?” Tanya mama sedikit heran melihat ku.

“Putri mau lari pagi, Ma!” jawab ku.

“Iya, hati-hati ya Put!” kata mama lembut dengan senyumnya yang sangat manis.

Tiga tahun lebih aku tidak kesini saat tiba di jembatan tempat biasanya aku menikmati pagi, semua masih seperti dulu, pikir ku. Tak terasa sudah tiga tahun lebih pula aku tidak pernah melihat cahaya kemerahan mentari pagi dari sini. Semenjak pagi itu saat aku melihat Fajar meninggalkan Jakarta aku memutuskan untuk tidak pernah datang kesini. Namun entah kenapa pagi ini aku sangat ingin datang kesini.

Ku pandangi sang mentari yang mulai menampakkan cahaya merah khasnya yang menghangatkan jagat raya. Sesekali dia bersembunyi di balik awan putih yang menemaninya pagi ini. Begitu indah hingga dia mampu menghipnotis ku. Ku raih kamera dari saku jaket ku dan mulai asyik mengambil foto dari berbagai sudut.

“Masih seperti dulu.” terdengar suara lembut begitu khas dari belakang ku yang mengagetkanku saat asyik mengambil gambar di sekeliling ku.

Jantung ku bedegup kencang kala ku ingat-ingat pemilik suara khas itu. “Fajar kah?” pikiran ku berkecamuk, benarkah dia, tapi itu tidak mungkin karena aku tahu dia di Surabaya.

“Ternyata di tinggal tiga tahun tetap saja tidak berubah, masih suka mengambil gambar mentari pagi?” Tanya nya.

Ku balik kan badan ku, dan alangkah terkejutnya aku melihat wajah lembut dengan tatapan mata yang teduh tersenyum manis, ada di tepat di hadapan ku.

“Fajar.!” Kata ku sambil menyembunyikan kekagetan ku.

Fajar hanya melambaikan tangan dan tetap tersenyum. Perasaan ku kian tak karuan, bahagia karena orang yang selalu ku nantikan kehadirannya ada di hadapan ku, atau kah kecewa karena dia sudah pergi meninggalkanku tanpa alasan sepatah kata pun yang terucap.

“Fajar, sejak kapan kamu disini?” Tanya ku heran.

“Sejak kamu mulai memandangi cahaya merah mentari tadi” jawab Fajar.

“Sepertinya memori laptop kamu penuh karena foto-foto matahari dan pemandangan ya” lanjutnya dengan senyum simpul menghiasi wajah tanpannya.

Aku hanya terdiam masih tidak percaya dengan keadaan ini. Banyak pertanyaan yang ingin ku Tanya kan pada fajar, kapan dia tiba di Jakarta, kenapa dia ada di sini, apa yang terjadi dengannya sejak tiga tahun lalu, sungguh itu ingin ku tanyakan pada Fajar, namun rasanya bibir ku tak mampu bergerak karena kaget.

“Tidak usah heran begitu. Kemarin aku tiba di Jakarta. Sejak dari Surabaya, tempat yang paling ingin ku kunjungi adalah tempat ini. Tadi pagi-pagi aku sudah jalan kesini, ternyata kamu sudah ada di sini lebih dulu.” Kata Fajar seakan mengerti kebingungan ku.

“Maafkan aku Put, waktu itu aku tidak sempat berpamitan sama kamu. Tapi waktu itu benar-benar keadaan mendesak, perusahaan papa ku hampir bangkrut beliau kena serangan jantung. Ibu menelpon meminta ku untuk kembali ke Surabaya dan menangani perusahaan setidaknya sampai papa sembuh. Aku panic mendengar berita papa serangan jantung dan perusahaan yang hampir bangkrut itu, jadi aku langsung memutuskan untuk kembali ke Surabaya. Syukurlah sekarang semua sudah kembali normal.” Lanjut Fajar setelah diam beberapa saat.

“Aku tidak tahu kenapa aku harus menjelaskan ini semua kepada kamu, tapi rasanya lega kalau sudah menjelaskan semuanya sama kamu.” Katanya menarik nafas dalam.

“Put, kenapa diam saja?” Tanya Fajar heran melihat aku yang terdiam dan tertunduk dari tadi.

“Aku tidak tahu harus ngomong apa Fajar.” Jawab ku menahan tangis.

“Kamu masih marah Put?” Tanya nya lagi.

“Aku tidak ada hak untuk marah sama kamu”

“Lalu kenapa kamu diam saja?”

Sejatinya aku sangat merindukan orang yang ada di hadapan ku sekaran ini. Ingin rasanya aku mengatakan aku sangat rindu sama kamu Fajar, tiga tahun ini aku selalu menantikan mu. Namun itu semua tertahan di tenggorokan ku.

“Oh ya sudah tidak apa-apa. Aku ingin bercerita saja kalau begitu.” Kata Fajar mencairkan suasana.

“Tiga tahun yang lalu, di suatu pagi, saat aku akan kembali ke Surabaya. Ingin sekali aku menemui seseorang yang mampu membuat hati ku bergetar walau hanya mendengar namanya. Berkali-kali aku berniat menelpon namun selalu ada ganjalan dalam hati saat mau menekan tombol call. Bahkan sebuah pesan singkat sudah aku ketik, namun ku urungkan untuk mengirimnya.” Cerita Fajar.

“Kenapa tidak jadi, dan siapa orang itu?” Tanya ku sangat penasaran.

“Aku takut untuk aku menelpon atau mengirim pesan itu, karena aku bukan siapa-siapa untuk dia. Bahkan aku tidak tahu dia memikirkan aku atau tidak, aku tidak tahu dia mengharapkan telpon ku atau tidak.” Jawab Fajar namun tidak menjawab pertanyaan kedua ku.

“Aku tidak tahu mengapa perasaan ku saat itu sungguh tidak enak kala harus meninggalkan Jakarta, yang jelas aku sangat tidak menginginkan untuk jauh dari dia.”

“Saat aku melewati tol Jakarta-Tangerang menuju bandara. Di sebuah jembatan di atas tol, aku melihat seseorang yang sangat ingin ku temui itu. Aku melihat dia dari balik kaca hitam di dalam mobil.”

Jantung ku berdebar kencang saat Fajar menceritakan itu semua, kenapa seperti aku mengenal kejadian dalam cerita tersebut.

“Tatapan lembutnya melihat kearah ku, namun aku tahu dia hanya melihat mobil yang ku naiki dan dia tidak melihat ku karena terhalang kaca hitam mobil. Saat itu aku berdo’a, semoga kelak saat aku kembali ke Jakarta dia belum menikah dan aku akan melamarnya.” Lanjut Fajar yang semakin membuat aku gemetaran.

“Selama di Surabaya sudah beberapa kali papa dan mama meminta ku untuk menikah, namun dengan halus aku menjelaskan bahwa aku akan menikahi satu orang di dunia ini.”

“Aku berharap sekarang dia belum menikah, hingga aku bisa melamarnnya”

“Dia itu siapa Fajar, kamu membuat aku penasaran?” Tanya ku memotong cerita Fajar. Tubuh ku gemetar dan mulai panas dingin. Fajar terdiam sejenak dan melanjutkan bicaranya.

“Put, will you marry me?” Kata Fajar di penghujung ceritanya.
Ku lihat sekilas wajah Fajar yang tersenyum pada ku. langsung ku tundukkan pandangan ku dengan penuh kekagetan ku. belum terjawab rasanya kekagetan ku tadi kini dia sudah mengagetkan lagi dengan melamar ku. senang memang, tak bisa ku pungkiri. Bahagia karena orang yang sering hadir dalam mimpi ku kini ada di hadapan ku dan juga melamar ku.

“Orang itu kamu Put, sejak tiga tahun yang lalu aku memendam rasa suka aku sama kamu. Dan sekarang aku rasa adalah waktu yang tepat untuk aku mengungkapkan semuanya.” Terang Fajar.

“Bagaimana Put, kamu mau kan?” Tanya Fajar sedikit bergetar.
Ku pandangi sejenak wajah teduh Fajar, ada kehangatan tiada tara yang mengukir disana. Ku lempar senyum tipis pada Fajar.

“Aku tidak bisa.” Aku terdiam sejenak,ku lihat Fajar rasanya baru kali ini dia diam tertunduk tanpa kata seperti itu.

“Aku tidak bisa menolak lamaran orang yang sering mengusik hati dan pikiran ku selama ini. Aku tidak mampu menolak lamaran mu itu Fajar.”

----------------The End-------------------

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

.

.

.

.

.