Rencana Allah Menyatukan Dua Insan

“Put, aku akan ke Batam bulan depan.”
“Afwan, ada keperluan apa ke Batam?”
Dua hari berlalu setelah pesan singkat terakhir yang ku terima dari Fajar, dia mengatakan akan ke Batam, tanpa memberi penjelasan tujuannya pergi ke tanah kelahiran ku untuk apa. Dua kali ku kirim pesan yang sama, menanyakan tujuannya ke Batam namun tidak ada jawaban sama sekali.
“Assalamu’alaikum, Afwan Put kemarin aku tidak membalas pesan mu. Sebenarnya aku tidak mau memberitahukan tujuan ku ke Batam sama kamu. Tetapi setelah aku pikirkan lagi, kamu berhak tahu.” Tiba-tiba sebuah pesan yang masih mengambang maksud dan tujuannya, masuk ke ponsel ku.
“Fajar!” heran ku.
Belum sempat aku menanyakan maksud Fajar, ponsel ku sudah berdering untuk kedua kalinya dan itu darinya.
“Afwan Put. Aku ingin mengkhitbah mu. Aku sudah bilang sama semua keluarga di Batam.” Pesan yang sangat singkat namun cukup membuat ku terdiam beberapa saat dan membuat hati ku tak karuan.
“Put, semua keputusan ada di tangan kamu. Ayah dan ibu tidak akan pernah memaksa. Kamu sudah besar dan mengerti baik buruk semua yang akan kamu hadapi. Berpikirlah yang tenang karena ini menyangkut masa depan mu. Perbanyak berdo’a dan minta petunjuk pada Yang Maha Pemberi Petunjuk. Apa pun keputusan yang kamu ambil, Insyaallah ayah dan ibu akan tetap mendukung.” Itulah pesan yang kuterima dari ibu setelah beberapa saat Fajar memberi kabar.
Aku memang pernah dekat dengan Fajar, namun itu dulu jauh sebelum aku hijrah ke Jakarta dan mendalami ilmu agama ku. Itu pun hanya sekadar kirim-kiriman pesan singkat saja. Setelah itu aku tidak tahu kabar tentang Fajar dan tidak pernah berkomunikasi dengannya. Sampai beberapa hari yang lalu dia mengirim pesan dan mengatakan dia akan ke Batam yang tujuannya untuk mengkhitbah ku. Sungguh semua itu membuat ku tidak tenang. Bukan karena aku tidak suka Fajar berniat mengkhitbah ku, namun sekarang aku masih kuliah dan belum berfikir untuk melangsungkan sebuah pernikahan.
“Ya Allah, aku mohon petunjuk mu. Aku sungguh mencintai kekasihmu, namun aku ingin menyelesaikan pencarian ilmu ku untuk menyempurnakan segala ilmu yang kumiliki. Aku ingin tetap menjaga hati ku untuk menggapai ridho-Mu. Sungguh aku lebih mencintai-Mu dari kekasih-Mu. Aku ingin cinta ku pada-Mu dan cintanya pada-Mu meneguhkan hati kami, agar tetap terhimpun dalam cinta hakiki kepada-Mu. Aku mohon kalau memang dia jodoh ku yang telah Engkau tekdirkan, maka mudahkanlah perkara ini. Dan jika dia bukan yang terbaik untuk ku, aku mohon jadikanlah ini sebagai penguat iman ku dan dia pada-Mu. Amiinn ya Allah” dalam sujud ku panjat kan do’a dengan air mata yang tak pernah surut mengalir dari sudut mataku.
Seminggu berlalu, hari-hari ku dipenuhi kebimbangan yang mendalam. Aku tak tahu isi hati ku, gundah, bingung, senang, semua seakan bermain dalam benakku. Aku bingung harus berbuat apa dan berkata apa. Di lain pihak aku memang menaruh hati pada Fajar, namun aku juga ingin menyelesaikan kuliah ku yang masih tersisa dua semester ini. Kalau pun aku terima lamaran Fajar, aku belum mau menikah dalam waktu dekat, itu berarti ada tenggang waktu yang sangat lama antara lamaran dan pernikahan. Dan itu sangat membahayakan untuk iman ku. Aku takut tidak bisa menjaga kesucian hati dan bersihnya pikiran ku. Namun jika aku tidak menerima lamaran itu, tidak enak dengan orangtua ku dan orangtuanya Fajar yang sudah sangat dekat bahkan bisa dikatakan sudah menjodohkan kami secara tidak langsung.
“Oh iya, Nisa!” Aku langsung meraih ponsel dan mencari-cari nomor Nisa.
“Semoga Nisa bisa membantu ku keluar dari semua ini” harap ku.
Tak perlu lama aku menunggu, aku langsung menekan tombol call untuk menghubungi Nisa yang berada di Batam.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikunsalam, Nis!” jawab ku pelan.
“Apa kabar Put, sudah lama kita tidak berkirim kabar?” Tanya Nisa.
“Alhamdulillah Khoir, kamu sendiri bagaimana Nis?”
“Alhamdulillah luar biasa Khoir.” Jawab Nisa semangat.
Tak mau aku berlama basa-basi, langsung ku ceritakan semua dari awal, mulai dari pesan yang ku terima dari Fajar sampai dia mengatakan ingin menghitbah ku. Dan hambatan-hambatan ku untuk mengambil keputusan.
“Aku bingung Nis, Jujur aku memang menaruh hati pada Fajar. Namun belum terpikir oleh ku kalau dia akan mengkhitbah ku secepat ini. Aku masih mau menyelesaikan kuliah ku. Aku takut jika dia datang ke Batam dan langsung melamar ku pada ayah. memang keputusan diserahkan pada ku, tapi aku bingung Nis harus berbuat apa.” Jelas ku panjang lebar pada Nisa yang menjadi pendengar setia sedari tadi.
“Put, jujur aku juga belum terlalu paham untuk hal ini.” Jawab Nisa
“Aku tahu kebimbangan mu, Put. Kamu harus bisa menimbang semua keputusan sebelum mengambil keputusan itu.” Terang Nisa.
“Atau kamu terima saja lamaran Fajar dan menikah setelah kamu lulus kuliah.” Lanjutnya.
“Tapi Nis, kuliah ku masih setahun lagi, itu masih terlalu lama. Aku takut tidak bisa menjaga hati ku. Aku tidak bisa bertahan jika pikiran ku selalu di bayang-bayangi oleh Fajar. Aku takut iman ku tak sekuat yang ku rencanakan Nis. Aku takut ada komunikasi yang tidak perlu terjadi seperti sms atau telpon dengan topic yang tidak syar’i.” Jelas ku mulai terbata.
“Iya Put, aku tahu. Sangat sulit untuk menjaga hati. Tapi aku percaya kamu bisa. Kamu sudah tahu ilmu nya, kalau pun nanti ada acara sms-an itu hanya sekedar menanyakan kabar dan sudah stop tidak usah dilanjutkan. Namun jika kamu merasa takut lalai karenanya, sebaiknya kamu katakan yang tegas pada Fajar, kalau kamu tidak mau ada jedah terlalu lama dan bilang tunggu sampai kamu menamatkan kuliah mu dulu.”
“Oh iya Put, kamu sudah shalat istikharah?” Tanya Nisa tiba-tiba.
“Iya sudah Nis. Malah sudah berkali-kali, tapi tak kunjung kutemukan jawabannya. Aku masih diselimuti keraguan-keraguan yang sulit sekali ku hindari.” jawab ku.
“Putri, perlu kamu ketahui. Istikharah tidak selalu Allah jawab memalui mimpi. Tapi bisa juga dijawab dengan keyakinan dalam hati kita. Kalu kamu yakin untuk menerima Fajar, berarti itu lah jawabannya. Namun jika kamu masih ragu karenanya itupun merupakan jawabannya.”
“Ingat Put, jodoh itu sudah Allah atur sedemikian rupa indahnya. Kalau memang jodoh mu adalah Fajar, apapun tidak bisa mengahalanginya, namun jika dia bukan jodoh mu, Allah pasti sudah menyiapkan yang terbaik untuk mu di kemudian hari. Kamu pertimbangkan baik buruknya keputusan yang akan kamu ambil. Aku yakin kau pasti bisa memutuskan yang terbaik untuk mu dan iman mu.” Terang Nisa yang sangat menguatkan hati ku.
“Iya Nis, akan aku pikirkan lagi. Jazakillah Nis,!”
“Sama-sama Put. Tetap semangat, serahkan semua pada Allah dan tetap jaga kesucian hati mu. Sudah dulu ya. Assalamu’alaikum.” Tutup Nisa.
----------------------
“Assalamu’alaikum. Afwan Fajar. Dengan segala kekurangan ku, aku berharap kamu menunda niat baik mu untuk mengkhitbah ku.” Tanpa keraguan sedikit pun aku mengirim pesan singkat itu.
Tak lama menunggu balasan Fajar pun ku terima. “Kenapa Put, aku sudah memutuskan untuk ke Batam pekan depan. Kenapa tiba-tiba kamu berkata demikian?” Tanya Fajar.
“Aku mau menamatkan kuliah ku dulu Fajar.” Jawab ku singkat.
“Iya, aku bisa menunggu. Kamu bisa menamatkan kuliah dulu baru menikah.” Terang Fajar.
“Afwan jiddan. Dengan tetap menghargai niat baik mu, aku tetap tidak bisa. Aku takut kehilangan ridho Allah karenanya, aku takut jika kelak aku tidak mampu menjaga hati ku. Aku tidak tahu siapa jodoh ku, kamu atau orang lain, namun biarkan aku menjaga kesucian hati ku untuk suami ku kelak. Aku tetap berharap jodoh ku adalah kamu, tapi sebelum tiba waktunya aku ingin tetap menjaga hati ku tanpa ikatan. Aku tidak memaksa mu untuk menunggu ku, jika kelak kamu menemukan yang lebih baik dari ku maka lamar lah dia. Jika ternyata Allah telah menggariskan jodoh mu adalah aku, aku yakin kita akan dipertemukan dalam pertemuan yang jauh lebih indah.” Bergetar hati ku saat mengetik kata-kata itu dan tak terasa butiran bening menetes di layar ponsel ku. Langsung ku kirim pesan itu pada Fajar dengan harapan dia bisa memahami maksud ku.
---------------
“Saya terima nikahnya Putri Aiska Mulya binti Hasan Mulya dengan mas kawin yang tersebut di bayar tunai” terdengar samar dari kamar ku lantunan indah ijab Kabul dan di sambung bacaan al-qur’an surah Ar-Rahman yang menggetarkan semua orang yang hadir dalam prosesi ijab Kabul sore ini.
“Selamat ya Put, kamu sudah sah menjadi bidadari bagi seorang Ahmad Fajar Syaumi,!” ucap Nisa tersenyum dan langsung memeluk tubuh ku erat.
“Allah memang sudah menggariskan setiap jodoh manusia. Ketegaran hati dan keteguhan mu untuk tetap menjaga hati telah di jawab oleh Allah.”
“Ayo kita keluar” ajak Nisa.
Dari depan pintu kamar ku pandangi wajah Fajar yang sangat teduh. Sungguh dia adalah karunia Allah yang sangat berharga bagi ku, disanalah terdapat pintu syurga yang menanti ku. Saat aku sudah menyerahkan semua pada-Nya, Allah mengembalikan sosok Fajar ke dalam hidup ku,orang yang selalu menggetarkan hati ku kala ku dengar semua tentang dia. Fajar yang sempat ku ‘singkirkan’ dalam pikiran ku, walau tidak untuk hati ku, Allah kembalikan ia untuk ku. Ternyata Allah telah menyusun waktu yang sangat tepat untuk pertemuan yang begitu indah ini. Aku telah menamatkan kuliah sesuai rencanaku, Fajar menjadi pengusaha sukses dan tetap menjaga hatinya untuk ku dan untuk ridho Allah.
“Subhanallah” bisikku pelan dengan senyum simpul menghiasi pipi indah ku. Damainya jiwa saat ku tatap beningnya mata Fajar yang kini telah halal bagi ku.

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

.

.

.

.

.