Hati Dua Sahabat

Hati ku tak jelas adanya, saat ku mendengar ayah seorang sahabat karibku telah menghadap Sang Pencipta. Tak kuasa ku menahan air mata yang sudah mengantri sedari dulu yang tak ku izinkan untuk mengalir. Ingatanku seratus delapan puluh derajat berputar kembali kemasa tiga tahun silam. Saat dimana aku melihat pahlawan ku, idolaku setelah Rasulullah Sollallahualaihiwassalam, terbujur kaku dihadapan ku.
“Padahal begitu banyak impian yang ingin ku wujudkan untuk beliau, Put!” kata-kata yang sangat dalam menusuk relung hati ku. Bergetar seluruh tubuh ku ketika ku mendengar Annisa mengatakan itu yang diiringi isakan tangis yang begitu pilu. “Betapa aku juga ingin mewujudkan impian itu sahabat ku” lirih ku dalam hati.
“Sabar ya, Nis!” hanya itu kata-kata yang bisa terucap dari mulut ku. Aku tahu seharusnya aku memberikan semangat kepada Annisa yang sedang berduka, tapi tak bisa aku menutupi kesedihan ku hingga terderai pula air mata ku saat ku dengar isak tangis Annisa. Aku bisa merasakan apa yang dirasakan sahabat ku ini. Seolah semua kesedihan yang telah ku kubur dalam-dalam selama ini kembali terangkat ke permukaan. Rasa duka mendalam menyelimuti hati dua insan pagi ini, atas berpulangnya ayahanda tercinta ke Rahmatullah.
“Sabar ya Nis, sekarang kita hanya bisa berdo’a kepada Allah, semoga beliau diampuni segala dosa nya, diterima segala amalannya, dilapangkan kuburnya, dan di bukakan pintu-pintu jannah kelak di hari akhir. Ayo kita sama-sama berusaha untuk mewujudkan impian-impian yang sudah kita rancang untuk beliau yang belum sempat kita capai. Kita jadikan beliau bangga pada anaknya di alam sana.” Akhirnya bisa juga aku mengeluarkan kata-kata yang (semoga) bisa membangkitkan semangat sahabat ku ini setelah menarik nafas dalam-dalam dan menguatkan hati yang sebenarnya juga merasakan kesedihan yang sama. Kami pun terseduh sedan dalam diam masing-masing. Entah apa yang ada dalam pikiran kami saat ini. Setelah dalam diam yang cukup lama, aku pun kembali menguatkan Annisa yang masih sedan akan kesedihannya. Walau aku sendiri tak sekuat kata-kata yang keluar dari lisanku.
“Pokoknya yang sabar ya Nis, apapun yang terjadi yakinlah itu yang terbaik yang Allah kehendaki untuk kita!”
“Menangislah selagi kamu ingin menangis Nis, namun serahkan semua pada kuasa Allah. Mulai besok dan seterusnya kembalilah bersemangat menjalani kehidupan yang entah kapan Allah menghendaki ini. Kamu pasti bisa Nis!”
“Maaf ya Nis, aku tidak bisa pulang, aku akan selalu mendo’akan Papa dari kejauhan dan Insyaallah do’a kita di ijabah Allah Yang Maha Rahman” Kata-kata itu mengalir begitu saja dibarengi air mata yang tak henti mengalir sejak awal.
“Iya Put, Terimakasih ya” terdengar lirih di seberang sana.
“Oke, Sudah dulu ya Nis, sekali lagi kamu sabar ya”
“Assalamu’alaikum” ku tutup telpon ku pada Annisa. Tak tertahankan lagi, tangis ku pun kian menjadi. Aku tertunduk dalam istigfar kepada Allah. Pipi ku basah dengan air mata, bibir ku kelu karena tak sanggup untuk berucap. Hati sajalah yang merintih pada kuasa Allah.
“Aku pun akan segera menyusul ayah dan papa sahabatku atas kehendak-Mu Ya Allah. Walau tak ku ketahui kapan dan dimana Engkau menghendakinya. Ampuni aku Ya Allah yang selalu menangis dan teringat pada ayah kala ku ketahui ada umat-Mu yang Engkau panggil menghadap-Mu.”
“Aku sadar, yang paling dekat dengan ku adalah ajalku. Maka dari itu aku memohon hanya pada Mu atas jiwa dan raga ku agar selalu dalam ridho Mu”
“Ya Rahman, dekaplah ayah dan papa sahabatku dalam pelukan Mu. Terimalah segala amalannya, ampuni khilaf dan salah yang pernah mereka kerjakan dulu, jadikanlah kubur sebagai taman syurga untuk mereka, dan bukakanlah pintu-pintu jannah Mu Ya Allah”
Do’a demi do’a ku lantunkan pada Sang Khalik dalam derai air mata yang tetap saja tak mampu ku hentikan. Hati ku kembali bergemuruh hebat kala aku teringat janji ku pada ayah yang belum sempat ku penuhi.
“Ayah, nanti aku mau membiayai ayah dan ibu pergi haji” kata ku manja pada ayah kala itu.
“Iya, ayah tunggu ya kabar baiknya. Nanti kita berangkat bersama-sama satu keluarga sama kakak-kakak juga” jawab ayah dengan senyum khasnya yang selalu ada dalam benakku.
Air mata ku semakin deras mengalir mengingat itu semua. Ya Allah, tak kuat rasanya jika aku selalu teringat semua kenangan itu. Aku tak sekuat apa yang ku ucapkan pada Annisa, aku tak setegar langkah ku yang ku pijakkan setiap hari ku. Ya Ilahi Rabbi, betapa lemahnya aku yang selalu mengadu kesedihan demi kesedihan kepada Mu. Rasanya setiap ku bersimpuh terlalu sering curahan kesedihan yang ku adukan kepada Mu. Pinta ku Ya Rabbana agar kekutan Mu senantiasa mendekapku, ketabahan menyelimuti jiwaku, dan keikhlasan selalu menghiasi kalbu ku.
Aku akan berusaha mewujudkan impian-impian yang kurencanakan bersama ayah. Aku akan bersemangat menjalani semua liku kehidupan ini untuk meraih impian dan ridho Mu. Aku akan tegar atas segala uji dari Mu yang sungguh aku tau itu Engkau berikan agar bertambahlah iman ku pada Mu.
Segala Puji bagi Mu ya Allah.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

.

.

.

.

.